Sabtu, 01 November 2014

BAHASA ITU ARBITRER DAN KONVESNONAL

Arbitrer

Ciri arbitrer ini tampak pada hubungan antara lambang dan yang dilambangkan dalam pengertian bahwa tidak ada hubungan langsung antara lambang dan yang dilambangi. Dalam bahasa Indonesia, katapencuri melambangi ‘orang yang beroperasi mengambil milik orang lain tanpa minta izin dan tanpa sepengetahuan pemiliknya’. Tidak dapat dinalar mengapa lambang yang digunakan adalah pencuri, dan bukanperampok, pengambil, pembajak. Pelambang seperti itu dalam bahasa Inggris disebut thief. Mengapa pelambangnya demikian? Tidak dapat dijawab karena tidak ada hubungan logis antara lambang dan yang dilambangi itu.
Dalam objek atau pengalaman yang manapun tidak didapati sifat-sifat yang berpautan yang menuntut kita untuk melekatkan lambang-lambang verbal pada objek dan pengalaman itu. Kita menggunakan kataburung untuk menunjukkan binatang vertebrata yang bersayap dan bertelur. Orang Inggris menggunakan kata bird; orang Arab teorun; orang Bugis manuk-manuk; dan orang Belanda voget.
Pelambangan seperti di atas tidaklah bersifat individual. Tidak ada peluang bagi setiap individu untuk menciptakan satuan bahasa sekehendaknya. Sifat arbitrer itu hanya berlaku dalam masyarakat bahasa dalam bentuk kesepakatan atau konvensi. Jadi, masyarakat bahasalah yang secara sewenang-wenang menentukan lambang-lambang dalam bahasa dan menentukan pula wujud yang dilambangi oleh lambang-lambang itu.
Dalam persuratan, kita seringkali menemukan format penulisan alamat seperti; Kepada Saudara/i. Bentuk yang seperti ini meletakkan kata ganti perempuan hanya dengan memberi secuil huruf “i” setelah penyebutan “Saudara”. Secara sekilas, memang terkesan efisien, dan memang telah lumrah berlaku di masyarakat. Berbagai instansi dan situs juga mencantumkan demikian. Jadi, apa yang perlu dipersoalkan?
Sebagai sebuah gagasan, “bahasa” memiliki berbagai kemungkinan, karena sifat yang dimilikinya, arbitrer dan konvensional. Arbitrer adalah kesewenangan yang dilekatkan pada pelaku bahasa, yaitu manusia untuk menamai ataupun mendefinisikan sesuatu. Formasinya seperti yang telah dicetuskan oleh Ferdinand D’ Saussure,penanda dan tinandaPenanda adalah kesan imajinasi yang disampaikan dari penutur, sedangkan tinanda adalah konsep yang ditunjuk penanda. Contoh sifat arbitrer adalah penamaan “kursi” untuk benda yang (dulunya) berkaki empat dan digunakan untuk duduk. Mengapa tidak dinamakan “kulkas”? inilah yang kemudian melewati proses kedua, konvensional.
Walaupun bersifat sewenang-wenang, namun “bahasa” tidak akan menjadi bahasa hingga melewati sebuah kesepakatan suatu kelompok. Inilah yang disebut dengan konvensional, kesepakatan berdasarkan dengan konsensus? Adapun yang disebut kelompok dengan berbagai jumlah dan karakteristiknya, mengacu pada sosiologi. Selesai? Ternyata tidak. Untuk menjadi bahasa yang matang, harus melewati fase ratifikasi tata bahasa dan uji coba, kemudian baru dapat dilegalkan.
Terkait dengan konvensional, ada permasalahan yang cukup pelik di sini. Jika konvensional merujuk pada kesepakatan bersama dan tentunya memenangkan suara terbanyak, ataupun politik “suara terbanyak”. Masalah yang timbul adalah ketika budaya yang mengkonstruk kelompok. Misalnya adalah budaya Jawa yang selalu berhadapan dengan tanaman padi, tentu ia mempunyai segudang istilah untuk berbagai varian tanaman ini. Mulai dari gabah, beras,sego dan upo.
Nah repotnya, ketika budaya yang membentuk kelompok adalah patriarkhis, maka bahasa yang dikonensuskan tentu berbau diskriminasi perempuan. Lihat saja pemakaian term “mahasiswa” yang awalnya bermakna “laki-laki yang belajar di jenjang perguruan tinggi”, namun pada selanjutnya ia mampu mengakomodir makna “perempuan yang sedang belajar di perguruan tinggi”. Ini juga terjadi dalam pemakaian format “Saudara/i”, karena berdasarkan konsensus, penyebutan huruf “i” di belakang “Saudara” sudah mampu dipahami oleh pembaca.
Pemakaian bahasa yang seksi memang mempunyai banyak implikasi, salah satunya adalah diskriminasi. Konsekuensi yang harus ditanggung adalah keharusan menyebutkan kedua kata ganti. Berbeda dengan bahasa Inggris yang mempunyai “person” untuk menggantikan “Mr” dan “Mrs”, bahasa Indonesia tidak mempunyai kata ganti yang netral untuk penyebutan “Bapak”, “Ibu”, “Saudara” ataupun “Saudari”. Maka, pengguna bahasa haruslah menyebutkan semua kata ganti, agar maksud yang ingin disampaikan terwakili.
3. Konvensional
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa sifat arbitrer itu berlaku secara sosial, tidak secara individual. Sifat itu merupakan hasil kesepakatan masyarakat. Karena itulah, bahasa dapat disebut bersifat konvensional sebagai sifat hasil kesepakatan. Hal yang perlu dipahami adalah kenyataan bahwa kesepakatan itu bukanlah formal yang dinyatakan melalui musyawarah, sidang, rapat, atau kongres, atau rapat raksasa untuk menentukan lambang tertentu.
Walaupun forum formal tidak ada dan harus tidak ada, setiap pemakai bahasa tunduk kepada kesepakatan atau konvensi itu. Disadari atau tidak, pemakai bahasa sudah melakukan hal itu. Pelambangan yang menyimpang menyebabkan bahasa yang digunakan seseorang menjadi tidak komunikatif. Misalnya, kata aku dalam bahasa Indonesia yang melambangkan identitas diri semua orang sepakat dengan kata aku dan tidak menggunakan kata kucing, anjing, ataupun monyet.    


8)   Bahasa itu unik
Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh orang lain. Artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas tertentu yang tidak dimiliki bahasa lain.

Contoh; Bahasa banjar berbeda dengan bahasa jawa
7)   Bahasa itu bersifat produktif
Maksudnya adalah walaupun unsur – unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur – unsur yang jumlahnya terbatas itu dpat dibuat satuan – satuan bahasa yang jumlahnya tak terbatas, meski secara relattif, sesuai dengan yang berlaku pada basa itu.
Contoh; Galau,alay lebay

  1. Bahasa Itu Bersifat Arbitrer
Arbitrary berarti selected at random and without reason, dipilih secara acak dan tanpa alasan. Ringkasnya, manasuka atau seenaknya, asal bunyi, tidak ada hubungan logis antara kata-kata sebagi simbol atau lambang dengan yang dilambangkannya.xi Atau, dengan bahasa lain, Chaer (2007) menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan arbitrer adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut.
Contoh pengertian arbitrer tersebut dapat kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita, hal tersebut terbukti antra rangkaian bunyi-bunyi dengan makna yang dikandungnya. Mengapa bahan bakar sepeda motor disebut dengan bensin tidak kecap, binatang tertentu di Indonesia disebut kuda, di Inggris horse, di Arab faras dan akan terus berbeda diwilayah-wilayah lain tentang penyebutannya.
Itulah yang disebut dengan arbitrer atau manasuka yang tidak akan bisa ditemukan alsan penyebutannya yang berbeda-beda dikarenakan sifat ke-arbitreran-nya. Andaikata bahasa itu tidak arbitrer, sudah barang tentu dapat kita pastikan bahwa sebutan untuk kuda hanya akan ada satu kata dalam bahasa manusia, tidak ada lagi penyebutan kuda, horse, faras dan lain sebagainya, hanya akan ada satu penyebutan


  1. Bahasa Itu Konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa harus mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya.xiii
Contohnya adalah, adanya kesepakatan dalam masyarakat bahasa Indonesia untuk menyebut suatu benda beroda dua yang dapat dikendarai dengan dikayuh, yang secara arbitrer dilambangkan dengan bunyi “sepeda”, maka anggota masyarakat bahasa Indonesia “seluruhnya” harus mematuhinya. Jika tidak diapatuhi dan kemudian diganti dengan dengan lambang lain, maka komunikasi antar masyarakat akan terhambat.
Oleh karena itu, jika ke-arbitreran bahasa terletak pada antara lambang-lambang bunyi dengan konsep yang dilambangkannya, maka ke-konvensionalan bahasa terletak pada kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan lambang-lambang itu sesuai dengan konsep yang dilambangkan.xiv

2 komentar: