Jumat, 30 Mei 2014

Guru profesional dalam persfektif Islam

PROFESIONALISME GURU PERSPEKTIF ISLAM

A.    Prawacana
Pendidikan dari masa ke masa, selalu saja ada pembahasan yang menarik untuk dikaji. Perihal kontempore, pendidikan dalam atmosfer abad pertengahan[1], mengalami dikotomik antara pendidikan Barat yang bercorak antroposentris, netral etik dan pendidikan Islam yang bercorak dogmatis, sarat etik.[2] Implikasinya terhadap tantangan pendidikan saat ini, khususnya dalam pendidikan Islam, bagaimana mencoba mewarnai suasana pendidikan Islam sebagai pendidikan Islam yang integratif, atau meminjam konsep al-Attas dan al-Faruqi dengan islamisasi ilmu pengetahuan atau pendidikan Islam integratif, konektif ala Amin Abdullah. Di mana adanya percampuran ilmu berbasis dunia Barat dan Islam. Inilah semangat dan tantangan dunia pendidikan Islam saat kini.
Berangkat dalam masalah tersebut, pendidikan Islam yang hanya mengkaji wilayah-wilayah teosentris dan sedikit kehilangan arah dalam sisi antroposentris atau gejala sosial. Sisi antroposentris yang di maksud adalah arah muatan pendidikan Islam sangat mengarah kepada kejadian religius atau nilai-nilai ke-Ilahian. Sangat sedikit atau bahkan muatan materi pendidikan Islam mengarah ke gejala sosial kemasyarakatan. Padahal, sejatinya niat tujuan pendidikan Islam lewat makna kata Islam, disemangati hablum min Allah dan hamlum min an-nass, ada baiknya muatan materi pendidikan Islam mengarah pada sisi humanitas. Paulo Freire semisalnya, mengembalikan fungsi Manusia yang sejatinya merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri, bukan menjadi manusia dari ketertinggalan, bentuk penindasan, dan kebodohan, atau sering kita kenal dalam konsepnya, suasana pendidikan lebih bercorak banking.[3]
Upaya dalam menumpaskan ketertinggalan, bentuk penindasan yang diamali oleh manusia (maksud : peserta didik), hal tersebut bertentangan dengan sejatinya tujuan dari proses pendidikan, selayaknya yang dikemukakan oleh Mangunwijaya, proses pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan dan karakter sikap hidup dalam diri manusia secara utuh.[4] Hasan Langgulung menambahkan, bahwa sejatinya pendidikan terlebih khusus pendidikan Islam adalah membentuk karakter individu untuk bisa beraktualisasi diri (self actualization), beribadah kepada Allah Swt, dan menjadi khalifahfil ardh.[5]
Berangkat dari itu semua, maka dalam merumuskan sebuah sistem dalam pendidikan Islam sangatlah berat. Jangankan pendidikan Islam, konsep pendidikan yang secara universal, perlu mematangkan konsep pendidikan yang akan dijalani. Karena, sebuah cita-cita dalam pendidikan, khususnya pendidikan Islam sangat menekankan aspek pengembangan siswa. Salah satu komponen yang berpengaruh dalam pengembangan siswa adalah guru, yang secara tidak langsung, maupun langsung berinteraksi secara penuh dengan murid. Maka, guru harus bisa mengposisikannya secara ideal. keikutsertaan guru (pendidik) dalam mengembangkan potensi siswa (peserta didik), akan merumuskan dan menentukan penyiapan proses pembelajaran di kelas, pengaturan kelas, dan pembelajaran yang akan dicapai siswa.[6]
Maka, sejatinya tugas guru pun adalah transformasi nilai-nilai dan pengetahuan dalam pembentukan pribadi.[7] Ini pun secara otomatis dalam akan menjadi sebuah tuntutan internal dalam pribadi guru untuk agar bersikap dan tanggung jawab. Tanggung jawab di sini bisa diartikan adalah profesionalisme. Karena, untuk mengakomodir semua peran-peran guru dalam pembelajaran, perlu dilandasi dengan sikap dan sifat profesionalisme seorang guru. Dalam konsepsi Islam, profesionalisme diartikan pemberian sebuah pekerjaan atau tugas pada yang ahlinya.[8] Sedangkan profesionalisme guru dalam pendidikan secara global, adalah memiliki kecakapan, ketrampilan, dan kemampuan, sebagaiman Ki Hajar Dewantoro dalam ungkapannya “Ing madyo mangun karsa, Ing ngarso sun tuladha, tut wuri handayani”, yang berarti Guru didepan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan.[9]
Maka dalam rumusan tulisan ini, secercah harapan dalam menguraikan bagaimana profesionalisme seorang guru dalam pendidikan dan tentunya dalam pendidikan Islam.
B.     Profesionalisme Guru dan Prinsip-prinsipnya
Profesionalisme berasal dari kata profesi. Mc Cully mengartikan profesi adalah “a vocation in which professed knowledge of some departement of learning or science is used in its aplication to the affairs of others or in the practice of an art founded upon it”. Hal ini mengandung makna bahwa dalam suatu pekerjaan profesional selalu digunakan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang secara sengaja harus dipelajari, dan kemudian secara langsung dapat diabadikan bagi kemaslahatan orang lain.[10]
Sedangkan dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sedangkan profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[11]
Maka, dalam menunjang nilai-nilai keprofesionalan seorang guru, perlu kiranya untuk memilik prinsip  administrasi dan prinsip operasional secara terstruktur.
Pertama, prinsip administrasi adalah prinsip yang mengarah kepada sebuah proses dalam menjadi seorang guru profesional. Dalam hal ini, guru harus memilki sertifikasi guru, sebagai bukti  sebuah syarat kualifikasi akademik, kompetensi, dan sehat jasmani. Selain itu, guru harus mengikuti pengembangan profesi guru, lewat PPG atau pendidikan profesi guru, di mana pendidikan ini setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.[12]
Kedua, kedua prinsip operasional. Dalam prinsip ini bagaimana menguraikan sepurar kerja taktis seorang guru. Ada banyak uraian dalam prinsip ini, salah satu di antaranya, empat cakupan kompetensi sebagaimana teramanahkan dalam PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 28 ayat 3  dan Permendiknas No 16/2007, yakni pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.[13] Selain itu juga, Menurut Oemar Hamalik, guru profesional harus memiliki persyaratan, yang meliputi: (1) memiliki bakat sebagai guru, (2) memiliki keahlian sebagai guru, (3) memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi, (4) memiliki mental  yang sehat, (5) berbadan sehat, (6) memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, (7) berjiwa pancasila dan warga negara yang baik.[14]
C.    Profesionalisme Guru dalam Perspektif Islam
Profesionalisme pada dasarnya berpijak pada dua kriteria pokok, yakni, merupakan panggilan hidup dan keahlian. Panggilan hidup atau dedikasi dan keahlian menurut Islam harus dilakukan karena Allah Swt. Hal ini akan mengukur sejauh nilai keikhlasan dalam perbuatan.
Dalam Islam pun, apapun setiap pekerjaan (termasuk seorang guru), harus dilakukan secara profesional.[15] Maka, dua hal inilah yakni, dedikasi dan keahlian yang mewarnai tanggung jawab untuk terbentuknya profesionalisme guru dalam perspektif pendidikan Islam. Selain itu, ada ungkapan yang tersirat saat Islam mendefinisikan terminologi “profesionalisme”. Ada aspek yang melibatkan kata profesionalime, yakni melimpahkan suatu urusan atau pekerjaan pada ahlinya.[16] Tentunya yang menjadi tolak ukur keahlian seorang guru dalam mencapai titik profesionalisme adalah sejauhmana mampu memenuhi dua syarat seperti yang diuraikan sebelumnya, yakni prinsp administrasi dan prinsip operasional. Tentunya, bila aspek ini diabaikan, maka, tinggal menunggu sebuah kehancuran atau tujuan dari pendidikan tidak terpenuhi. Mungkin di antara banyak dampak yang terjadi, salah satunya, guru tidak memiliki kecakapan intelektual sehingga berdampak pada kualitas peserta didik yang menjadi binaannya. Atau juga, melahirkan pendidik yang tidak bermoral sehingga implikasi terhadap anak didik pun ikut tidak bermoral, dan lain sebagainya.
Dengan demikian keseluruh komponen atau elemen yang mendukung sikap akan terbentuknya profesionalismenya seorang guru, dalam perspektif Islam, guna mensejatikan posisi pendidikan Islam dalam hal pendidik, perlu kiranya disesuaikan dengan nafas Islam yang berlandaskan al-Qur`an dan as-Sunnah. Harapan dan cita-cita terbentuk profesionalisme guru dalam perspektif Islam, lebih mengarahkan guru untuk bersikap baik, sopan, moral dan spritualitas. Selayaknya guru dalam tulang punggung pendidikan Islam sangatlah memiliki eksistensi yang kuat. Dalam perspektif Islam pendidik (guru) akan berhasil bila menjalankan tugas dengan baik, memilki pemikiran kreatif, dan terpadu serta mempunyai kompetensi profesionalisme yang religius.[17]
D.    Epilog
Peran dalam pendidik dalam mewujudkan cita-cita pendidikan khususnya pendidikan Islam, sangatlah diperhitungkan. Artinya perlu ada pewajahan pendidik, di mana sering diistilahkan profesionalisme guru (pendidik). Dalam pendidikan Islam atau umum pun, sangat menekankan hal ini. Ada beberapa catatan utama dalam profesionalisme guru bila ditinjau dalam perspektif Islam, di antaranya: (1) pelimpahan kinerja (maksud guru), harus pada yang ahlinya, (2) ahli di sini adalah mampu memenuhi prinsip administrasi, berupa sertifikasi dan PPG, dan prinsip operasional, berupa empat kompetensi, dan lain-lain, dan terakhir, (3) arah dari profesionalisme guru, setidaknya mengarah pada pembinaan moralitas guru, berupa perwujudan sifat baik, jujur, amanah, dan tanggung jawab. Demikianlah, uraian eksplorasi terhakit hakikat profesionalisme sejatinya, dengan memakai sudut pandang Islam, yang harapannya sebagai arah pada pembentukan pendidik dalam kancah pendidikan Islam.

[1] Harun Nasution saat membagi peradaban Islam, masa abad pertengahan dari abad ke 13 (1258 M, runtuhnya istana perpusatakaan di Bahgdad) hingga Napoleon Bonaporte bersilaturahmi ke Mesir untuk menyebarkan misi sekularisme pada abad ke 18. Di sinilah bisa diindentifikasi dalam sejarah pendidikan Islam, khususnya pendidikan Islam bisa diasumsikan secara sederhana, peradaban pendidikan Islam pun ikut tenggelam, sekalipun tidak bisa memunafikkan adanya sumbangsih peradaban pendidikan Islam oleh tiga kerajaan besar, yakni kerajaan Utsmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughal di India, karena berkembangnya sebuah peradaban tentunya tidak lepas dari proses pendidikan yang ada.
[2] Shodiq Abdullah, Rekonsiliasi Epistemologi, Ikhtiar dalam Mengatasi Dikhotomik Ilmu dalam Pendidikan Islam, dalam Abdul Khaliq dkk (ed), Paradigma Pendidikan Islam. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 105-106.
[3] Paulo Freire, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,terjemahan Agung Prihantoro, dkk. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 12-13.
[4] Mangunwijaya, Impian dari Jogjakarta, Jakarta: Gramedia, 2003, hal. 129.
[5] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologis, Filsafat, dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2004, hal. 50.
[6] Arif Rohman, “pendidik dan peserta didik”, dalam Dwi Siswono dkk (ed,) Ilmu Pendidikan, Jogjakarta: UNY Press, 2007, hal. 123.
[7] Ibid, 124.
[8] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Isla, Bandung: Rosdakarya, 2008, hal. 113.
[9] Martinis Yamin, Profesionalisme Guru & Implementasi KTSP, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008, hal. 6.
[10] Arif Rohman, pendidik dan peserta didik ….. hal. 123.
[11] Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005.
[12] Mansur Muslich, Sertifikasi Guru menuju Profesionalisme Pendidi,. Jakarta: Bumi Aksara, 2007, hal. 9.
[13] Peraturan Pemerintah, nomor 19 pasal 28 ayat 3, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, nomor 16 tahun 2007.
[14] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hal. 118.
[15] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan ….. hal. 113-114.
[16] Ibid .. 113
[17] Nanat Fattah Nasir, “Pemberdayaan Kualitas Guru dalam Perspektif Islam”, dalamJurnal Education No. I Vol. I, , Bandung: UPI, Januari 2007. Hal. 27
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Shodiq. 2001. “Rekonsiliasi Epistemologi, Ikhtiar dalam Mengatasi Dikhotomik Ilmu dalam Pendidikan Islam”, dalam Abdul Khaliq dkk (ed), Paradigma Pendidikan Islam. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.terj.Agung Prihantoro dkk. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Mangunwijaya. 2003. Impian dari Jogjakarta. Jakarta: Gramedia.
Muslich, Mansur. 2007. Sertifikasi Guru menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: Bumi Aksara.
Nasir, Nanat Fattah. 2007. “Pemberdayaan Kualitas Guru dalam Perspektif Islam”, dalamJurnal Education No 1, Vol 1, Januari 2007. Bandung: UPI.
Langgulung, Hasan. 2004. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologis, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru.
Peraturan Pemerintah, nomor 19 pasal 28 ayat 3, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, nomor 16 tahun 2007.
Rohman, Arif. 2007. “Pendidik dan Peserta Ddidik”, dalam Dwi Siswono dkk (ed,) Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: UNY Press.
Tafsir, Ahmad. 2008. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosdakarya.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005.
Yamin, Martinis. 2008. Profesionalisme Guru & Implementasi KTSP. Jakarta: Gaung 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar