DAMPAK MADZHAB TERHADAP PERKEMBANGAN FIQIH
Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa madzhab fiqh dapat dikelompokkan
menjadi tiga madzhab utama: Sunni, Syi’ah, dan Khawariji. Dari tiga madzhab itu
berkembang madzhab yang lebih kecil, misalnya madzhab Sunni sampai sekarang
berkembang menjadi empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali (al-Madzahib
al-Arba’ah); madzhab Syi’ah berkembang menjadi Madzhab Ja’fari [Imami], Zaidi, dan
Isma’ili; terakhir madzhab Khawarij menyisakan satu madzhab; madzhab Ibadi.
Ketiga madzhab tersebut mempunyai karakteristik masing-masing dalam menggali
hukum Islam dan menyebarkan pemahamannya kepada masyarakat. Begitu pula,
dalam proses pembentukan dan penulisan kitab fiqhnya, masing-masing memiliki
sistematika yang berbeda. Proses pembantukan tersebut, secara operasional, menurut
Schahct, terungkap dalam uraian berikut ini:
“Masa penulisan hukum Islam dimulai sekitar tahun 150 K (767 M) dan
semenjak saat itu perkembangan hukum yang bersikap teknis dapat
diikuti langkah demi langkah dari satu ulama ke ulama berikutnya. Di
Irak, perkembangan hukum harus dinisbahkan berturut-turut kepada
Hammad ibn Abi Sulaiman, ahli hukum Kufah (wafat 150 H/738 M) dan
doktrin-doktrin dari Ibn Aby Layla (wafat 148 H/765 M) dan doktrin Abu
Hanifah (wafat 150 H/767M), Abu Yusuf (wafat 182 H/798 M) serta doktrin
24 | Perbandingan Madzhab
Modul I
dari Syaibani (wafat 189 H/805 M), orang syria Awza’I (wafat 157 H/774
M) menggambarkan satu tipe hukum lama dan Malik (wafat 179 H/795
M) doktrinnya rata-rata menjadi anutan aliran hukum Madinah. Selama
periode kedua, pemikiran hukum secara teknis berkembang secara cepat
dari permulaannya dengan menggunakan metode analogi.”
Lebih tegas lagi, Schacht mengatakan bahwa yurisprudensi hukum Islam lahir dari
satu pusat, yakni madzhab Irak sebagaimana pendapat Goldziher. Madzhab Irak ini
lebih berkembang dan sistematis dibanding madzhab Madinah.
Dampak nyata dalam bentuk penulisan kitab fiqh dapat dilihat dari karya-karya para
imam atau murid imam madzhab fiqh. Misalnya, Kitab-kitab fiqh disusun berdasarkan
permintaan penguasa dan pemerintah pun mulai menganut salah satu madzhab fiqh
resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan aqh
Madzhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya
penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai madzhab, juga disusun kitab-kitab usul
fiqh, se[erti kitab Ar-Risalah yang disusun oleh Imam Asy-Syafi’i. sebagaimana pada
periode ketiga, pada periode ini, fiqh iftiradi semakin berkembang karena pendekatan
yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai
bergeser pada pendekatan teoretis. Selain itu, penulisan sunnah dikenal dengan “kutub
al-sittah”” (Bukhari, Nuslim, Nasai, Ibn Majjah, Dawud, dan Tirmidzi) yang jumlahnya
berpuluh jilid serta penulisan tafsir telah dilakukan seperti tafsir ibn juraih, Saddi
danMuhammad bin Ishaq yang dikembangkan oleh Ibn Jarir Ath-Thabari (ulama tafsir
terkenal).
Dalam analisis Qordri Azizy, penulisan kitab-kitab fiqh tidak lepas dari madzhab
besar atau imam sebelimnya. Ia ungkapkan sebagai berikut:
“…Ulama pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 pada umumnya
mengikatkan diri pada suatu madzhab besar, namun sebenarnya mereka
juga tetap mengembangkan pemikiran mereka juga tetap mengembangkan
pemikiran mereka, meskipun dalam proses pengembangannya terkadang
harus terjadi perbedaan dengan pendapat imam-imam mereka. Di samping
secara formalitas mengikat diri kepada madzhab tertentu, metodologi
berpikirnya barangkali terikat hanya pada dasar-dasar pokoknya. Sebagai
contoh, misalnya al-Thahawi, memiliki banyak perbedaan dengan para
imam asalnya, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Asy-Ayaibani, dia masih
mengikat diri secara formal pada madzhab Hanafi dan dalam waktu yang
bersamaan, ia juga mengenbangkan lebih maju lagi madzhab ini secara
teoretis…”
Peralihan dari tredisi ijtihad kepada tradisi taklid pun terjadi sebagai dampak
madzhab besar terhadap para pengikut atau murudnya. Sebagai contoh, uraian yang
terdapat dalam Al-Majmu karya An-Nawawi, Al-Mustasfha, dan Ihya Ulum Ad-Din karya
Perbandingan Madzhab | 25
Pengertian & Sejarah
Al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Mereka juga giat meneliti dan mengklarifikasikan
permasalahan fiqh dan memperdebatkannya dalam forun-forum ilmiah sehingga dapat
diketahui mana pendapat yang disepakati dan mana pendapat yang diperselisihkan.
Kemudian, mereka bukukan dalam bentuk kitab seperti Al-Inshaf karya Al-Bathliyusi,
Bidaya Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd (w. 595 H), Al-I’tisham karya Asy-Syatibi dan
lain-lainnya yang merupakan embrio bagi kelahiran ilmu fiqh al-muqaram pada periode
selanjutnya.
Fuqaha juga sangat berkreasi dalam bidang usul fiqh. Mereka mempelajari
metode-metode yang dirumuskan oleh fuqaha sebelumnya, menyempurnakan , dan
dan menganalisis hasil penerapan masing-masing metode kepada masalah-masalah
fiqhiyyah sehingga fase ini telah dapat menelurkan puluhan kitab dalam bidang qawaid
fiqhiyyah, seperti al-Asybah was al-Nadhair oleh Ibnu Nujaim (w. 969 H0, Al-Qawaid oleh
Ibnu Jizy (w. 741 H). Al-Qawaid oleh Ibnu Rajab (w. 790 H) dan sebagainya.
Begitu pula dampak madzhab terhadap penulis fiqh pada madzhab Syi’ah [Ja’fari,
Ismail, dan Zaidiyah] dan madzhab Khawarij [ibadi], berikut ini:
Madzhab Syi’ah [Ja’fari] menghimpun beberapa kitab pedomannya sebagai berikut:
1. Al-Kafi fi ilm Ad-Din, karya Muhammad ibn Yakub ibn Ishaq Al-Kulaini (w. 328 H);
2. Basyairu al-Darajat fi ulum Ali Muhammad wa ma khassahum Allah bih, karya Ibnu Jafar
Muhammad id Al-Hasan;
3. Man laa yahdhur Al-faqih, karya Abu Jafar Muhammad bin Ali Husain;
4. Al-Itibar dan al-Tahdzhib, karya Muhammad bin Hasan Al-Thusi.
5. Syarai’ al-Islam, karya Ja’far ibn Hasan Al-Hully (678 H)
6. Syarah Jawahirul Kalam, karya Muhammad Hasan Al-Najmi
7. Miftahu Al-Karamah, karya Muhammad Al-Jawad ibn Muhammad Al-Husein (1226
H)
8. Wasail al-Syi’ah ila Masail al-Syari’ah, karya Muhammad Al-Hasan ibn Ali Al-Hari
(1104 H).
Sementara itu, madzhab Zaidiyah, meskipun sedikit, madzhab ini mamiliki format
penulisan fiqh, yakni Al-Majmu [fatwa-fatwa Zaid ibn Ali], baik bidang hadis maupun
fiqh, yang dikumpulkan oleh Abu Khalid ‘Amar bin Khalid Al-Wasithi (w. 150 H) dan
al-Raudhu An-Nadhir Syarh Majmu’ al-Fiqh al-Kabir karya Syafrudin Husein Ibn Ahmad
Al-Haimi Al-Yamini al-Son’ani (1221 H).
Adapun kitab resmi Fiqh madzhab Ismaili, Da’aim al-Islam, karya Numan Ibn
Muhammad At-Tamimi (w. 974 H).
Adapun madzhab Khawarij, format penulisan kitab yang dijadikan rujukan oleh
madzhab Ibadiyah adalah Musnad Ar-RAb’I karya Rabi’ bin Habib al-Farahidi al-Umani
26 | Perbandingan Madzhab
Modul I
al-Bashri dan kitab Ashdag Al-Manahij fi Tamyiz Al-Ibadiyah Min Al-Khawarij karya ulama
mutqkhir Ibadi, Salim bin Hamud.
Dampak madzhab tehadap bentuk penulisan kitab fiqh terdapat tiga macam bentuk
kitab, yaitu:
1. Matan, yaitu kitab yang mengumpulkan masalah-masalah pokok yang disusun
dengan uraian yang mudah. Akan tetapi, kemudian ada pula dengan uraian yang
sukar, sehingga membutuhkan syarh (keterangan).
2. Syarh, yaitu kitab yang merupakan komentar dari kitab matan.
3. Hasyiah, yang merupakan komentar dari syarh.
Ketiga bentuk kitab di atas, sampai sekarang masih banyak digunakan di tengahtengah
masyarakat luas. Di samping itu, selain dipelajari di tengah-tengah masyarakat
umum, juga dipelajari di pasantren-pasantren di Indonesia. Bahkan, para cendikiawan
pun tidak sedikit yang mempergunakan buku-buku tersebut sebagai rujukan. Meskipun
penggunaan kitab-kitab tersebut selektif dan bergantung pada paham dan aliran yang
dianut.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa dampak madzhab terhadap
pembentukan dan penulisan kitab fiqh tidak hanya didasarkan pada idealisme masingmasing
madzhab, tetapi juga campur tangan penguasa yang berkeinginan memiliki
madzhab resmi dengan kitab yang dianutnya, seperti Al-Kharraj karya Abu Usuf (murid
Imam Hafani), Al-Muwaththa karya Imam Maliki, dan sebagainya. Hal ini berlaku pula
kepada madzhab Syi’ah yang memiliki ciri khas tersendiri dalam pemberlakuan fiqh di
negaranya seperti adanya wilayah al-qadla, wilayah al-faqih, dan wilayah al-hukm.
DAMPAK MADZHAB TERHADAP FORMAT FIQIH
Bila ditarik kebelakang, formalisasi fiqh tidak bis terlepas dari dua aliran atau
madzhab; Madrasah Al-Hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra’yu. Madrasah
al-hadis kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah Al-Hijaz dan Madrasah Al-
Madinah; sedangkan Madrasah Ar-Ra’yu dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Iraq dan
Madrasah Al-Kufah.
Dalam analisis Nurcholis Madjid, jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah
Ahl Al-Riwayah (“Kelompok Riwayat,” karena banyak berpegang kepada penuturan
masa lampau, seperti hadis, sebagai pedoman) dan orang-orang Irak adalah Ahl Ar-
Ra’y (“Kelompok Penalaran”’ dengan isyarat tidak banyak mementingkan “riwayat”),
sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya intelektual masing-masing daerah itu.
Adapun pada peringkat individu, cukup banyak dari tiap-tiap daerah yang tidak
mengukuti karakteristik umum itu. Dikalangan orang-orang Hijaz terdapat orangorang
sarjana bernama Rabi’ah yang tergolong “kelompok Penalaran,” dan dikalangan
sarjana Irak, tampil seorang penganut dan pembela “Kelompok Riwayat yang sangat
Perbandingan Madzhab | 27
Pengertian & Sejarah
tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal. Di samping itu, membuat generalisasi bahwa suatu
kelompok hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasry, apakah itu
penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak tepat. Terdapat persilangan antara
keduanya, meskipun masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua
kategori kedua kategori tersebut. Ini semakin memperkaya pemikiran hukum fiqh.
Hal ini terbukti, dalam perkembangan selanjutnya, dengan semakin menipisnya
pertentangan antara Madrasah Al-Hadits dan Madrasah Ar-Ra’yu sehingga masingmasing
pihak mengakui peranan ra’yu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh
Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas Al-Azhar Mesir bahwa
pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing
kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain. Imam Muhammad bin Hasan
Asy-Saybani, ulama dari Madzhab Hanafi yang dikenal sebagai Ablurra’yu (Ahlulhadis
dan Ahlurra’yu), datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari
kitabnya, Al-Muwaththa’ (buku hadis dan fiqh). Imam Asy-Syafi’i, salah seorang tokoh
ahlulhadis, belajar kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syabani. Imam Abu Yusuf,
tokoh ahlurra’yu, banyak mendukung pendapat ahli hadis dengan mempergunakan
hadis-hadis Rasullulah. Oleh karena itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,
kitab-kitab fiqh banyak berisi ra’yu dan hadis. Hal ini menunjukkan adanya titik temu
antara masing-masing kelompok.
Pengaruh madzhab terhadap format fiqih secara spesifik, dapat dilihat dari pengertian
fiqih yang sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana
yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqih sudah menjelama sebagai
salah satu cabang ilmu keIslaman yang mengandung penegrtian “mengetahui hukumhukum
syara’ yang bersifat ‘amali dari dalil-dali yang terperinci.
Madzhab juga mempengaruhi format ushul fiqh sehingga menjadi ilmu yang
mandiri. Berbagai metode ijtihad, seperti istihsan dan lainnya telah dikembangkan oleh
ulama fiqih dengan sistematika yang berbeda antar madzhab.[]
Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa madzhab fiqh dapat dikelompokkan
menjadi tiga madzhab utama: Sunni, Syi’ah, dan Khawariji. Dari tiga madzhab itu
berkembang madzhab yang lebih kecil, misalnya madzhab Sunni sampai sekarang
berkembang menjadi empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali (al-Madzahib
al-Arba’ah); madzhab Syi’ah berkembang menjadi Madzhab Ja’fari [Imami], Zaidi, dan
Isma’ili; terakhir madzhab Khawarij menyisakan satu madzhab; madzhab Ibadi.
Ketiga madzhab tersebut mempunyai karakteristik masing-masing dalam menggali
hukum Islam dan menyebarkan pemahamannya kepada masyarakat. Begitu pula,
dalam proses pembentukan dan penulisan kitab fiqhnya, masing-masing memiliki
sistematika yang berbeda. Proses pembantukan tersebut, secara operasional, menurut
Schahct, terungkap dalam uraian berikut ini:
“Masa penulisan hukum Islam dimulai sekitar tahun 150 K (767 M) dan
semenjak saat itu perkembangan hukum yang bersikap teknis dapat
diikuti langkah demi langkah dari satu ulama ke ulama berikutnya. Di
Irak, perkembangan hukum harus dinisbahkan berturut-turut kepada
Hammad ibn Abi Sulaiman, ahli hukum Kufah (wafat 150 H/738 M) dan
doktrin-doktrin dari Ibn Aby Layla (wafat 148 H/765 M) dan doktrin Abu
Hanifah (wafat 150 H/767M), Abu Yusuf (wafat 182 H/798 M) serta doktrin
24 | Perbandingan Madzhab
Modul I
dari Syaibani (wafat 189 H/805 M), orang syria Awza’I (wafat 157 H/774
M) menggambarkan satu tipe hukum lama dan Malik (wafat 179 H/795
M) doktrinnya rata-rata menjadi anutan aliran hukum Madinah. Selama
periode kedua, pemikiran hukum secara teknis berkembang secara cepat
dari permulaannya dengan menggunakan metode analogi.”
Lebih tegas lagi, Schacht mengatakan bahwa yurisprudensi hukum Islam lahir dari
satu pusat, yakni madzhab Irak sebagaimana pendapat Goldziher. Madzhab Irak ini
lebih berkembang dan sistematis dibanding madzhab Madinah.
Dampak nyata dalam bentuk penulisan kitab fiqh dapat dilihat dari karya-karya para
imam atau murid imam madzhab fiqh. Misalnya, Kitab-kitab fiqh disusun berdasarkan
permintaan penguasa dan pemerintah pun mulai menganut salah satu madzhab fiqh
resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan aqh
Madzhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya
penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai madzhab, juga disusun kitab-kitab usul
fiqh, se[erti kitab Ar-Risalah yang disusun oleh Imam Asy-Syafi’i. sebagaimana pada
periode ketiga, pada periode ini, fiqh iftiradi semakin berkembang karena pendekatan
yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai
bergeser pada pendekatan teoretis. Selain itu, penulisan sunnah dikenal dengan “kutub
al-sittah”” (Bukhari, Nuslim, Nasai, Ibn Majjah, Dawud, dan Tirmidzi) yang jumlahnya
berpuluh jilid serta penulisan tafsir telah dilakukan seperti tafsir ibn juraih, Saddi
danMuhammad bin Ishaq yang dikembangkan oleh Ibn Jarir Ath-Thabari (ulama tafsir
terkenal).
Dalam analisis Qordri Azizy, penulisan kitab-kitab fiqh tidak lepas dari madzhab
besar atau imam sebelimnya. Ia ungkapkan sebagai berikut:
“…Ulama pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 pada umumnya
mengikatkan diri pada suatu madzhab besar, namun sebenarnya mereka
juga tetap mengembangkan pemikiran mereka juga tetap mengembangkan
pemikiran mereka, meskipun dalam proses pengembangannya terkadang
harus terjadi perbedaan dengan pendapat imam-imam mereka. Di samping
secara formalitas mengikat diri kepada madzhab tertentu, metodologi
berpikirnya barangkali terikat hanya pada dasar-dasar pokoknya. Sebagai
contoh, misalnya al-Thahawi, memiliki banyak perbedaan dengan para
imam asalnya, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Asy-Ayaibani, dia masih
mengikat diri secara formal pada madzhab Hanafi dan dalam waktu yang
bersamaan, ia juga mengenbangkan lebih maju lagi madzhab ini secara
teoretis…”
Peralihan dari tredisi ijtihad kepada tradisi taklid pun terjadi sebagai dampak
madzhab besar terhadap para pengikut atau murudnya. Sebagai contoh, uraian yang
terdapat dalam Al-Majmu karya An-Nawawi, Al-Mustasfha, dan Ihya Ulum Ad-Din karya
Perbandingan Madzhab | 25
Pengertian & Sejarah
Al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Mereka juga giat meneliti dan mengklarifikasikan
permasalahan fiqh dan memperdebatkannya dalam forun-forum ilmiah sehingga dapat
diketahui mana pendapat yang disepakati dan mana pendapat yang diperselisihkan.
Kemudian, mereka bukukan dalam bentuk kitab seperti Al-Inshaf karya Al-Bathliyusi,
Bidaya Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd (w. 595 H), Al-I’tisham karya Asy-Syatibi dan
lain-lainnya yang merupakan embrio bagi kelahiran ilmu fiqh al-muqaram pada periode
selanjutnya.
Fuqaha juga sangat berkreasi dalam bidang usul fiqh. Mereka mempelajari
metode-metode yang dirumuskan oleh fuqaha sebelumnya, menyempurnakan , dan
dan menganalisis hasil penerapan masing-masing metode kepada masalah-masalah
fiqhiyyah sehingga fase ini telah dapat menelurkan puluhan kitab dalam bidang qawaid
fiqhiyyah, seperti al-Asybah was al-Nadhair oleh Ibnu Nujaim (w. 969 H0, Al-Qawaid oleh
Ibnu Jizy (w. 741 H). Al-Qawaid oleh Ibnu Rajab (w. 790 H) dan sebagainya.
Begitu pula dampak madzhab terhadap penulis fiqh pada madzhab Syi’ah [Ja’fari,
Ismail, dan Zaidiyah] dan madzhab Khawarij [ibadi], berikut ini:
Madzhab Syi’ah [Ja’fari] menghimpun beberapa kitab pedomannya sebagai berikut:
1. Al-Kafi fi ilm Ad-Din, karya Muhammad ibn Yakub ibn Ishaq Al-Kulaini (w. 328 H);
2. Basyairu al-Darajat fi ulum Ali Muhammad wa ma khassahum Allah bih, karya Ibnu Jafar
Muhammad id Al-Hasan;
3. Man laa yahdhur Al-faqih, karya Abu Jafar Muhammad bin Ali Husain;
4. Al-Itibar dan al-Tahdzhib, karya Muhammad bin Hasan Al-Thusi.
5. Syarai’ al-Islam, karya Ja’far ibn Hasan Al-Hully (678 H)
6. Syarah Jawahirul Kalam, karya Muhammad Hasan Al-Najmi
7. Miftahu Al-Karamah, karya Muhammad Al-Jawad ibn Muhammad Al-Husein (1226
H)
8. Wasail al-Syi’ah ila Masail al-Syari’ah, karya Muhammad Al-Hasan ibn Ali Al-Hari
(1104 H).
Sementara itu, madzhab Zaidiyah, meskipun sedikit, madzhab ini mamiliki format
penulisan fiqh, yakni Al-Majmu [fatwa-fatwa Zaid ibn Ali], baik bidang hadis maupun
fiqh, yang dikumpulkan oleh Abu Khalid ‘Amar bin Khalid Al-Wasithi (w. 150 H) dan
al-Raudhu An-Nadhir Syarh Majmu’ al-Fiqh al-Kabir karya Syafrudin Husein Ibn Ahmad
Al-Haimi Al-Yamini al-Son’ani (1221 H).
Adapun kitab resmi Fiqh madzhab Ismaili, Da’aim al-Islam, karya Numan Ibn
Muhammad At-Tamimi (w. 974 H).
Adapun madzhab Khawarij, format penulisan kitab yang dijadikan rujukan oleh
madzhab Ibadiyah adalah Musnad Ar-RAb’I karya Rabi’ bin Habib al-Farahidi al-Umani
26 | Perbandingan Madzhab
Modul I
al-Bashri dan kitab Ashdag Al-Manahij fi Tamyiz Al-Ibadiyah Min Al-Khawarij karya ulama
mutqkhir Ibadi, Salim bin Hamud.
Dampak madzhab tehadap bentuk penulisan kitab fiqh terdapat tiga macam bentuk
kitab, yaitu:
1. Matan, yaitu kitab yang mengumpulkan masalah-masalah pokok yang disusun
dengan uraian yang mudah. Akan tetapi, kemudian ada pula dengan uraian yang
sukar, sehingga membutuhkan syarh (keterangan).
2. Syarh, yaitu kitab yang merupakan komentar dari kitab matan.
3. Hasyiah, yang merupakan komentar dari syarh.
Ketiga bentuk kitab di atas, sampai sekarang masih banyak digunakan di tengahtengah
masyarakat luas. Di samping itu, selain dipelajari di tengah-tengah masyarakat
umum, juga dipelajari di pasantren-pasantren di Indonesia. Bahkan, para cendikiawan
pun tidak sedikit yang mempergunakan buku-buku tersebut sebagai rujukan. Meskipun
penggunaan kitab-kitab tersebut selektif dan bergantung pada paham dan aliran yang
dianut.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa dampak madzhab terhadap
pembentukan dan penulisan kitab fiqh tidak hanya didasarkan pada idealisme masingmasing
madzhab, tetapi juga campur tangan penguasa yang berkeinginan memiliki
madzhab resmi dengan kitab yang dianutnya, seperti Al-Kharraj karya Abu Usuf (murid
Imam Hafani), Al-Muwaththa karya Imam Maliki, dan sebagainya. Hal ini berlaku pula
kepada madzhab Syi’ah yang memiliki ciri khas tersendiri dalam pemberlakuan fiqh di
negaranya seperti adanya wilayah al-qadla, wilayah al-faqih, dan wilayah al-hukm.
DAMPAK MADZHAB TERHADAP FORMAT FIQIH
Bila ditarik kebelakang, formalisasi fiqh tidak bis terlepas dari dua aliran atau
madzhab; Madrasah Al-Hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra’yu. Madrasah
al-hadis kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah Al-Hijaz dan Madrasah Al-
Madinah; sedangkan Madrasah Ar-Ra’yu dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Iraq dan
Madrasah Al-Kufah.
Dalam analisis Nurcholis Madjid, jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah
Ahl Al-Riwayah (“Kelompok Riwayat,” karena banyak berpegang kepada penuturan
masa lampau, seperti hadis, sebagai pedoman) dan orang-orang Irak adalah Ahl Ar-
Ra’y (“Kelompok Penalaran”’ dengan isyarat tidak banyak mementingkan “riwayat”),
sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya intelektual masing-masing daerah itu.
Adapun pada peringkat individu, cukup banyak dari tiap-tiap daerah yang tidak
mengukuti karakteristik umum itu. Dikalangan orang-orang Hijaz terdapat orangorang
sarjana bernama Rabi’ah yang tergolong “kelompok Penalaran,” dan dikalangan
sarjana Irak, tampil seorang penganut dan pembela “Kelompok Riwayat yang sangat
Perbandingan Madzhab | 27
Pengertian & Sejarah
tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal. Di samping itu, membuat generalisasi bahwa suatu
kelompok hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasry, apakah itu
penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak tepat. Terdapat persilangan antara
keduanya, meskipun masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua
kategori kedua kategori tersebut. Ini semakin memperkaya pemikiran hukum fiqh.
Hal ini terbukti, dalam perkembangan selanjutnya, dengan semakin menipisnya
pertentangan antara Madrasah Al-Hadits dan Madrasah Ar-Ra’yu sehingga masingmasing
pihak mengakui peranan ra’yu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh
Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas Al-Azhar Mesir bahwa
pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing
kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain. Imam Muhammad bin Hasan
Asy-Saybani, ulama dari Madzhab Hanafi yang dikenal sebagai Ablurra’yu (Ahlulhadis
dan Ahlurra’yu), datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari
kitabnya, Al-Muwaththa’ (buku hadis dan fiqh). Imam Asy-Syafi’i, salah seorang tokoh
ahlulhadis, belajar kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syabani. Imam Abu Yusuf,
tokoh ahlurra’yu, banyak mendukung pendapat ahli hadis dengan mempergunakan
hadis-hadis Rasullulah. Oleh karena itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,
kitab-kitab fiqh banyak berisi ra’yu dan hadis. Hal ini menunjukkan adanya titik temu
antara masing-masing kelompok.
Pengaruh madzhab terhadap format fiqih secara spesifik, dapat dilihat dari pengertian
fiqih yang sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana
yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqih sudah menjelama sebagai
salah satu cabang ilmu keIslaman yang mengandung penegrtian “mengetahui hukumhukum
syara’ yang bersifat ‘amali dari dalil-dali yang terperinci.
Madzhab juga mempengaruhi format ushul fiqh sehingga menjadi ilmu yang
mandiri. Berbagai metode ijtihad, seperti istihsan dan lainnya telah dikembangkan oleh
ulama fiqih dengan sistematika yang berbeda antar madzhab.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar