A. MADZHAB HANAFI: IMAM ABU HANIFAH Abu Bakr Muhammad Ali Thayib Al-Baghdadi dalam kitabnya, Al-Baghdadi
menjelaskan bahwa dasar-dasar pemikiran fiqih Abu Hanifah, sebagai berikut:
“Aku (Abu Hanifah) mengambil kitab Allah. Bila tidak ditemukan di dalamnya,
aku ambil dari sunnah Rasul, jika aku tidak menemukan pada kitab dan As-
Sunnahnya, aku ambil pendapat-pendapat sahabat. Aku ambil perkataan yang aku
kehendaki dan aku tinggalkan pendapat-pendapat yang tidak aku kehendaki. Dan
aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat orang lain selain mereka.
Adapun apabila telah sampai urusan itu atau telah dating kepada Ibrahim, Al-
Syaibani, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Atha, Sa’id, dan Abu Hanifah menyebut beberapa
orang lagi, mereka orang-orang yang telah berijtihad.”
Selain itu, Hasby Asy-Syiddieqy, menguraikan dasar-dasar pegangan Imam Hanafi
sebagai berikut.
“Pendirian Abu Hanifah sebagaimana Hanafiyah, ialah mengambil dari orangorang
kepercayaan, dan lari dari keburukan, memerhatikan muamalah manusia dan
apa yang telah mendatangkan maslahat bagi urusan mereka. Beliau menjalankan
urusan asas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, beliau melakukannya atas
istihsan, selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan beliau kembali
kepada ‘urf masyarakat. Dan mengamalkan hadits yang terkenal yang telah
diijmakan ulama, kemudian beliau meng-Qiyas-kan sesuatu kepada hadits itu
selama qiyas masih dapat dilakukan. Kemudian, beliau kembali kepada istihsan,
mana diantara keduanya yang lebih tepat”.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar pegangan madzhab Hanafi
adalah:
1. Kitab Allah (Al-Qur’an)
2. Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur di antara para
ulama yang ahlu
3. Fatwa-fatwa dari sahabat
4. Ijma
5. Al-Qiyas
6. Al-Istihsan
7. Al-‘Urf
Perbandingan Madzhab | 91
Pola Pemikiran
1. Al-Kitab (Al-Qur’an)
Suatu hal yang menjadi permasalahan Al-Kitab dalam pandangan Madzhab
Hanafi adalah apakah yang dinamakan Al-Qur’an itu hanya makna lafaznya saja
atau kedua-duanya, menurut As-Sarkhasi, Al-Quran dalam pandangan Hanafi
hanya maknanya saja, bukan lafazh dan makna. Adapun menurut Al-Badzdzawi,
Abu Hanifah menetapkan Al-Quran adalah lafazh dan maknanya.
Jika diambil pendapat As-Sarkhasi, Abu Hanifah membolehkan kita shalat dengan
membaca terjemahan Al-Fatihah dan dapat dipandang bahwa terjemahan Al-Quran
sama dengan Al-Quran itu sendiri.
Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh tidak adanya pendapat yang jelas dari
Abu Hanifah. Akan tetapi, menurut sebuah riwayat, Abu Hanifah pernah berkata,
“Ia membolehkan membaca terjemahan Al-Quran dalam shalat, baik kita dapat
membaca ataupun tidak. Pendapat tersebut dibantah Abu Yusuf dan Muhammad
Al-Hasan, yang tidak membolahkan hal tersebut, kecuali apabila tidak sanggup
membaca Al-Quran dengan lafazh arabnya.
Ulama Madzhab Hanafi berpandangan bahwa pesan Al-Quran tidak semuanya
qath’i ad-dalalah. Ada beberapa hal yang memerlukan interpretasi terhadap hukum
yang di tunjukan oleh Al-Quran tersebut, terutama ayat-ayat yang menerangkan
muamalah umum antar manusia.
Dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah tersebut, porsi penggunaan
akal dalam mencari hukum suatu mashlahah lebih besar. Hal itu telah dibuktikan,
baik oleh Imam Hanafi maupun oleh murid-muridnya, dank arena ini juga Madzhab
Hanafi dijuluki sebagai madzhab yang paling Umari, dan madzhab liberalis, dan
rasionalis.
Dalam memahami Al-Quran, ualama Madzhab Hanafi tidak hanya melakukan
interpretasi terhadap ayat-ayat yang masih mujmal, tetapi mereka juga melakukan
penelaahan terhadap ‘aam dank has ayat Al-Quran tersebut. Dan inilah yang
tampaknya menjadi ciri khas ulama-ulama Irak yang dipelopori oleh Imam Hanafi
dan ulama-ulama Hijaz yang semadzhab dengan mereka.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum khas mencapai yang muhkam adalah qath’I
tanpa perlu adanya bayan, karena khasbasul qur’an. Qath’i di dalamnya, dan segala
nash yang mengubah hukumnya di pandang nasikh, dan nasikh harus sama kuatnya
dari segala tsubut-nya. Pendapat ulama Hanafiyah tersebut merupakan hasil takhrij
dari hukum-hukum furu yang ditetapkan oleh Abu Hanifah sendiri.
Hal inilah yang menjadikan salah satu titik yang membedakan fuqaha ra’yi dan
fuqaha hadis. Fuqaha ra’yi mengumumkan Al-Quran, tidak mengkhususkan dengan
hadis ahad. Fuqaha hadits sebagaimana yang dikemukakan oleh Asy-Syafi’I dalam
Ar-Risalah dan Al-Umm, mengkhususkan amm Al-Quran dengan hadis ahad.
92 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Ayat-ayat Al-Quran yang berpautan dengan hukum, selain diteliti dari segi
amm dank has-nya, juga harus ada usaha bayan, karena sifatnya mujmal atau agak
tersembunyi maknanya, memerlukan tafsir, takwil, atau sifat-sifatnya muthlaq
memerlukan taqyid. Oleh Karena itu ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Assunnah
bias menjadi bayan bagi Al-Quran.
Bayan Al-Quran menurut hanafi terbagi tiga bagian:
1. Bayan taqrir, seperti sabda Nabi, “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan
berbukalah kamu sesudah melihatnya”
2. Bayan tafsir, seperti hadits yang menerangkan kaifiyat shalat, kaifiyat haji, zakat,
cara memotong tangan pencuri dan menerangkan hukum-hukum yang berkenaan
dengan riba.
3. Bayan tabdin atau yang disebut juga bayan nasakh. Al-Quran boleh dinasahkan
dengan As-sunnah dengan syarat bahwa As-sunnah tersebut adalah mutawatir
atau masyhurah dan mustafidhah.
2. As-Sunah
Dasar yang digunakan oleh Mazhab Hanafi adalah As-Sunnah. Martabat As-
Sunnah terletak dibawah Al-Quran. Imam Abu Yusuf berkata, “Aku belum pernah
melihat seseorang yang lebih alim tentang menafsirkan hadis daripada Abu Hanifah.
Ia adalah seorang yang mengerti tentang penyakit-penyakit hadis dan men-ta’dil dan
men-tarjib hadis.”
Tentang dasar yang kedua ini, Mazhab Hanafi sepakat mengamalkan As-
Sunnah yang mutawatir, mashur, dan shahih. Hanya saja, Imam Hanafi sebagaimana
ulama Hanafiyah, agak ketat menetapkan syarat-syarat yang dipergunakan untuk
menerima hadis ahad.
Abu Hanifah menolak hadis ahad apabila berlawanan dengan ma’na Al-Quran,
baik makna yang diambil dari nash, atau yang diambil dari illat hukum. Ali Hasan
Abd. Al-Qadir mengatakan, “Musuh-musuh Abu Hanifah (orang yang tidak senang
dengan Abu Hanifah) menuduhnya tidak memberikan perhatian yang besar terhadap
hadis. Ia memprioritaskan ra’yu. Abu Shalih Al-Fura menuturkan, “Aku mendengar
Ibn Asbath berkata, “Abu Hanifah menolak 400 atau lebih hadis.”
Abu Hanifah menerima hadis ahad, jika tidak berlawanan dengan qiyas. Tetapi
jika berlawanan hadis ahad dengan qiyas yang illatnya mustanbath dari suatu ashal
yang dhanni, walaupun dari ashal yang qath’i, atau diistanbathkan dari ashal yang
qath’i, tetapi penetapannya kepada furu adalah dhanni, maka hadis ahad didahulukan
atas qiyas.
Perbandingan Madzhab | 93
Pola Pemikiran
3. Fatwa Shahabi
Imam Abu Hanifah sangat menghargai pendapat para sahabat. Dia menerima,
mengambil, serta mengharuskan umat Islam mengikutinya. Jika ada pada suatu
masalah beberapa pendapat sahabat, maka ia mengambil salah satunya. Dan jika
tidak ada pendapat-pendapat sahabat pada suatu masalah, ia berijtihad dan tidak
mengikuti pendapat tabiin. Menurut Abu Hanifah, ijma sahabat ialah: “Kesepakatan
para mujtahidin dari umat Islam di suatu masa sesudah Nabi, atas suatu urusan.”
Ta’rif itulah yang disepakati ulama Ahlu Al-Ushul. Ulama Hanafiyah menetapkan
bahwa ijma itu dijadikan sebagai hujjah. Mereka menerima ijma qauli dan ijma sukuti.
Mereka menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum baru terhadap suatu urusan yang
telah disepakati oleh para ulama, karena membuat hukum baru adalah menyalahi
ijma. Paling tidak, ada tiga alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dalam
menerima ijma’ sebagai hujjah:
a. Para sahabat berijtihad dalam menghadapi masalah yang timbul. Umar bin
Khaththab dalam menghadapi suatu masalah, sering memanggil para sahabat
untuk diajak bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila dalam musyawarah
tersebut diambil kesepakatan, Umar pun melaksanakannya.
b. Para Imam salalu menyesuaikan pahamnya dengan paham yang telah diambil
oleh ulama-ulama di negerinya, agar tidak dipandang ganjil, dan tidak dipandang
menyalahi umum. Dan Abu Hanifah tidak mau menyalahi sesuatu yang telah
difatwakan oleh ulama-ulama Kufah.
c. Hadis-hadis yang menunjukkan keharusan menghargai ijma seperti:
Dengan demikian, jelaslah bahwa ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma
merupakan salah sartu hujjah dalam agama, yang merupakan hujjah qath’iyyah.
Mereka tidak membedakan antara macam-macam ijma. Oleh karena itu, apapun
bentuknya kesepakatan yang datangnya dari kesepakatan para ulama/masyarakat,
itu berhak atas penetapan suatu hukum dan sekaligus menjadi hujjah hukum.
4. Qiyas
Qiyas adalah penjelasan dan penetapan suatu hukum tertentu yang tidak ada
nashnya dengan melihat masalah lain yang jelas hukumnya dalam Kitabullah atau
As-Sunnah atau ijma’ karena kesamaan illatnya. Yang menjadi pokok pegangan
dalam menjalankan qjyas adalah bahwa segalanya hukum syara’ ditetapkan
untuk menghasilkan kemashlahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Hukum-hukum itu mengandung pengertan-pengertian dan hikmah-hikmah yang
menghasilkan kemashlahatan, baik yang diperintahkan maupun yang dilarang,
atau yang dibolehkan maupun yang dimakruhkan. Semuanya demi, kemashlahatan
umat.
94 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa semua masalah yang baru timbul dan
tidak ada hukumnya dalam Al-Quran dan As- Sunnah serta ijma’, boleh diqoaskan
begitu saja, atas dalil kemashlahatan umum. Ada beberapa syarat dan rukun yang
harus dipenuhi tatkala hendak mengqiaskan suatu permasalahan kepada hukum
lama.
Di antara rukun yang harus dipenuhi dalam qias adalah: 1). ashal, yaitu sesuatu
yang dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiaskan, dalam istilah ushul
fiqh disebut al-ashlu atau al-musyabbah bihi; 2) cabang (al-far’u), yaitu sesuatu yang
tidak dinashkan hukumnya. Dalam istilah ushul fiqh disebut al-far’u almaqis atau
al-musyabbah; 3) hukum ashal, yaitu hukum yang dinashkan pada pokok yang kemudian
akan menjadi hukum pada cabang; 4) illat hukum, yaitu sifat yang nyata dan tertentu
yang berkaitan atau yang munasabah dengan ada dan tidak adanya hukum. Dan illat
inilah yang akan menjadi titik tolak serta pijakan dalam melaksanakan qiyas.
Tentang illat hukum yang ada dalam nash, tidak semua nash itu dapat diselami
illatnya oleh akal pikiran. Oleh karena itu Hanafiyah membagi nash itu pada dua
bagian:
1. Nushus ta’abbudiyah, yaitu nash-nash yang berkenaan dengan masalah-masalah
ibadah, seperti masalah tayamum, ibadah haji dan lainnya. Pada nash ini tidak
dilakukan qiyas. Karena hukumnya telah disyariatkan Allah, serta ada kaidah
yang mengatakan “tidak ada qias dalam masalah ibadah”.
2. nash-nash yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan illatnya itu.
Nash inilah yang disebut nash mu’allal, nash-nash yang diteliti illatnya, maksudnya,
sebab, dan ghayah- ghayahnya, dan pada nash ini berlaku qias.
5. Istihsan
Istihsan yang, diartikan sebagai “konstruksi yang menguntungkan” (favourable
construction), atau juga sering dikatakan sebagai pilihan hukum (juristic preference)
dijadikan hujjah oleh fuqaha Madzhab Hanafi (Abdullah Ahmed An-Naim, 1994:
50). Daripada menggunakan dan mengikuti qiyas secara kaku, seorang fuqaha
Hanafi lebih suka memilih (yabtasin) jalan keluar yang lain, yaitu meninggalkan qias
yang tersembunyi atau halus (qiyas khafi), sebuah divergensi qiyas yang jelas (jali)
dan bersifat eksternal dengan model pengambilan keputusan dari dalam diri yang
terkondisi.
6. Al-‘urf
Urf (adat kebiasaan), dalam batas-batas tertentu diterima sebagai sumber syariah
oleh madzhab Hanafi. Menurut madzhab Hanafi, ‘urf dapat melampaui qias, namun
tidak dapat melampaui nash Al-Quran dan As-Sunnah. Sahal ibn Muzahim berkata,
“Pendirian Abu Hanifah adalah mengambil yang tepercaya dan lari dari keburukan
Perbandingan Madzhab | 95
Pola Pemikiran
setta memethatikan muamalah manusia dan apa yang mendatangkan mashlahat
bagi mereka. Ia melakukan segald urusan atas qiyas. Apabila tidak baik dilakukan
qiyas, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat
dilakukan istihsan, kembalilah ia kepada ‘urf manusia. (Abdullah Ahmed An-Naim,
1994: 53).
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik metode
Abu Hanifah adalah: pertama, Abu Hanifah menggunakan qias atau istihsan yang
tidak ada, nash. Abu Hanifah hanya mengambil yang lebih tepat di antara qiyas
dan istihsan. Kedua, apabila tidak dapat dijalankan qiyas atau istihsan, Abu Hanifah
mengambil ‘urf, apabila tidak ada nash Al-Quran, As-Sunnah, ijma, dan istihsan, baik
istihsan qiyas maupun istihsan istisna’i (atsar, istihsan ijma, dan istihsan darurat).
Dalam pandangan Barat, Abu Hanifah tampaknya telah memainkan peranan
sebagai seorang penyusun teori yang sistematis yang telah mencapai banyak kemajuan
di dalam mengembangkan dasar hukum yang bersifat teknis. Abu Hanifah bukanlah
seorang qadhi seperti Abu Layla, karena itu, cara berpikirnya tidak begitu terikat
dengan pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan tugas sehari-hari atau
praktis. Meskipun diakui bahwa pemikirannya berpandangan lebih luas dan cermat
daripada tokoh tua semasanya...
B. MADZHAB MALIKI: IMAM MALIK
Sistematika sumber hukum atau instinbath Imam Maliki, pada dasarnya, ia tidak
menuliskan secara sistematis. Akan tetapi para, muridnya atau madzhabnya menyusun
sistematika Imam Malik sebagaimana Qadhiyad dalam kitabnya AI-Mudarak, sebagai
betikut:
“Sesungguhnya manbaj imam Dar Al-Hijrah, pertama, ia mengambil Kitabullah,
jika tidak ditemukan dalam Kitabullah nashnya, ia mengambil As-Sunnah kategori
As-Sunnah menurutnya, hadis-hadis nabi Saw dan fatwa sahabat, amal AhIu almadinah,
al-qiyas, al mashlahah al-mursalah, sadd adz-Dzara’i al-‘urf, dan “al-addt”
Secara analitik, dijelaskan pula oleh Muhammad Salam Madkur dalam kitab
Al-ljtihadu fi At-Tasyri’ Al-IsIami, bahwa Imam Malik berpegang teguh kepada Al-Quran,
Sunnah mutawatir, ij’ma, terutama ijma, Ahlu Madinah. Adapun ijma selain, itu, dicari
yang paling kuat; qaul sahabat [kibar] karena perkataan mereka dati Nabi %, fatwa kibar
tabiin diperhatikan, tetapi sebagian besar Imam Maliki mendahulukan hadis ahad atas
qiyas apalagi kabar ahad yang sesuai dengan Ahlu Madinah. Istihsan, maslahat, saddu
dzariah dipegang oleh Imam Malik yang sesuai dengan dalil kulli, bahkan sar’u man
qablana (syariat sebelum Nabi) diambil selama tidak ada dalam syariat kami.
Dalam ringkasan Thaha Jabir, Madzhab Malik atau madzhab orang Hijaz-sahabat
Imam Said Al-Musayyab, memiliki kaidah-kaidah ijtihad sebagai berikut:
(1) Mengambil dari Al-Quran [Al-Kitab Al-Aziz];
96 | Perbandingan Madzhab
Modul III
(2) Menggunakan zhahir Al-Quran, yaitu lafazh yang umum;
(3) Menggunakan “dahr” Al-Quran, yakni mafhum al-mukhalafah;
(4) Menggunakan “mafhum” Al-Quran, yaitu mafhum muwafaqah;
(5) Menggunakan “tanbih” Al-Quran, yaitu memerhatikan illat.
Lima langkah di atas disebut sebagai Ushul Khamsah. Adapun langkah-langkah dari
segi “Al-Sunnah” ada sepuluh, yaitu:
(1) ljma
(2) Qiyas,
(3) Amal penduduk Madinah,
(4) Istihsan,
(5) Sadd adZ-Zara’i,
(6) Al-mashalih al-mursalab,
(7) Qaul ash-shahabi, [jika sanadnya sahih, ia bagian yang diterima]
(8) Muralat al-khilaf, [jika dalil ikhtilafnya kuat],
(9) Al-istishhab dan,
(10) Syaru’ man qablana.
a. Al-Quran
Dahun pandangan Malik, Al-Quran adalah di atas semua dalil-dalil hukum. Ia
menggunakan nash sharih [jelas] dan tidak menerima ta’wil. Dzahir Al-Quran diambil
ketika bersesuaian dengan takwil selama tidak didapati dalil yang mewajibkan
takwil. Imam Malik menggunakan mafhum al-Muwafaqat, yaitu fahwa al-kitab. Selain
itu, Imam Malik menggunakan mafhum al-mukhalafah, tanbih atas illat, isyarat [qarinah].
Imam Malik mendahulukan Al-Quran selama tidak ada dalam As-Sunnah.
b. As-Sunnah
Madzhab Malik Imam Malik mengambil sunnah yang mutawatir, masyhur
[setingkat dibawah mutawatirl, dan kbabar ahad [sebagian besar, mendahulukan
hadis ahad dari qiyas].” Selain itu, Imam Malik menggunakan hadis munqathi dan
mursal selama tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah.
c. Amalan Ahlu Al-Madinah [Al-’urf]
Imam Malik memegang tradisi Madinah sebagai hujjah [dalil] hukum karena
amalannya, dinukil langsung dari Nabi. Ia mendahulukan amal Ahlu Al-Madinah
ketimbang khabar ahad sedangkan para fuqaha tidak seperti itu.
d. Fatwa sahabat
Fatwa sahabat digunakan oleh Imam Malik karena ia atsar di mana sebagian
para sahabat melakukan manasik haji dengan Nabi. Oleh karena itu, qaul shahabi
Perbandingan Madzhab | 97
Pola Pemikiran
digunakan sebab bila dinukil dari hadis. Bahkan, Imam Malik mengambil juga fatwa
para kibar attabiin meskipun derajatnya tidak sampai ke fatwa sahabat, kecuali
adanya ijma para Ahlu Madinah.”
e. ljma
Imam Malik paling banyak menyandarkan pendapatnya pada iima’ seperti tertera
dalam kitabnya Al-Muwatbtba kata-kata al-amru al-mujtama’ ‘alaih dan sebagainya.
Ijma Ahli Madinah pun dijadikan hujjah, seperti ungkapannya, hadza huwa al-amru
al-mujtama’ alaihi indana. Asal amalan Madinah tersebut berdasarkan Sunnah, bukan
hasil ijtihad fatwa.
f. Qiyas, Mashlahat Mursalat, dan Istihsan
Qiyas yang digunakan Imam Malik adalah qias isthilahi,sedangkan istihsan
adalah memperkuat hukum mashlahat juziyah atas hukum qiyas. Qiyas adalah
menghubungkan suatu kasus yang tidak dijejaskan nash dengan suatu perkara yang
ada nashnya karena ada kesesuaian antara kedua perkara tersebut pada Mat kedua
hukum tersebut. Adapun mashlahat juziyah tidak se’perti itu. Dalam menetapkan
hukum, inilah yang disebut isfibsan isbtbilabi. Menurut kami, istihsan adalah hukum
mashlahat yang tidak ada nashnya.
Sedangkan mashlahat mursalat adalah mashlahat yang tidak adanashnya untuk
melaksanakan atau tidak. Mashlahat mursalah yang kami gunakan dengan syarat
bertujuan meniadakan kesukatan. Hal itu merupakan mashlahat yang. sudah umum
dalam hukum Islam meskipun tidak ada nashnya secara tersendiri. Mashlahat yang
kami gunakan tak lain adalal?isdhsan, sementara qiyas yang kami pegang adalah
qiyas yang tidak ada nashnya tentang kesempitan yang luas.
Secara umum, Imam Malik menggunakan mashlahat meskipun tidak ada nash
atau-hadis Nabi karena tujuan syara’ adalah untuk kemashlahatan umat manusia,
dan setiap nash pasti mengandung nilai mashlahat jika tidak ada nash, mashlahat
hakiki adalah melihat tujuan hukum syara.
g. Adz-Dzara’i
Sadz Adz-Dzara’i, dasar istinbath yang sering dipakai oleh Imam Malik. Maknanya
adalah menyumbat jalan. Wasilahnya haram, haram, wasilahnya hahd, hakd.
Demikian pula dalam mashlahat yang harus dicari. Wasilah kepada keinunkaran
haram dan harus dicegah.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Imam Malik ibn Anas dalam berfatwa,
pertama, Al-Quran, As-Sunnah terutama As Sunnah orang-orang Madinah yang
setingliat dengan As-Sunnah mutawatirah. Pen, ijma, dan qiyas. Demikian pula,
Asy-Syatibi menyederhanakan dasar-dasar Imam Malik adalah Al-Quran, Sunnah,
ijma dan ra’yu.
98 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Penyederhanaan tersebut tampaknya beralasan; sebab qaul sahabat dan tradisi
orang Madinah dalam pandangan Malik adalah bagian dari Sunnah, sedangkan
ra’yu meliputi mashlahat mursalat, sadd adZ-dzariat, urf, istihsan, dan istishab.
Dari berbagai uraian di atas dapat dipahami bahwa Imam Malik adalah
seorang yang berpikiran tradisional. Hanya karena kedalaman ilmunya, ia dapat
mengimbangi berbagai perkembangan yang terjadi saat itu. Namun, ada beberapa
hal yang perlu digaris bawahi dalam manhij Imam Malik.
Pertama, Imam Malik mendahulukan amalan orang-orang Madinah sebelum
qiyas, suatu metode yang tidak dipergunakan fuqaha lainnya. Amalan orang-orang
Madinah dalam pandangan Imam Malik, termasuk kategori As-Sunnah mutawatirah,
karena pewatisannya melalui generasi ke generasi yang dilakukan secara serernpak
sehingga menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan dari As-Sunnah. Hal
itu terbukti karena orang-orang Madinah [para sahabat] bergaul langsung dengan
Nabi dan mengembangkan tradisi hidup Nabi yang dikemudian hari diwariskan
kepada tabi’in dengan cara yang sama. Pola ini diikuti pula tabi at-tabiin. “Tradisi
orang Madinah” lebih jelas diterima oleh Imam Malik dalam peneritnaan hadis
ahad. Menurutnya, suatu hadis ahad dapat diterima sepanjang tidak bertentangan
dengan tradisi orang-orang Madinah. Kedua, qaul sahabat sebagai dalil syar’i yang
didahulukan daripada qiyas. Pendapat ini ditanggapi keras oleh Imam Syafi’i,
dengan alasan bahwa dalil hanya dapat diperoleh dari orang-orang ma’sum. Ketiga,
Imam Malik menggunakan mashlahat al-mursalah. Hal ini menunjukkan bahwa
Imam Malik menggunakan rasio ketika tidak ada penjelasan Al-Quran dan Al-Hads
tentang kasus tertentu.
C. MADZHAB SYAFI’I: IMAM ASY-SYAFI’I
Pola pikir Imam Asy-Syafi’i secara garis besar dapat dilihat dari kitab Al-Um, yang
menguraikan sebagai betikut:
Artinya:
Ilmu itu bertingkat secara berurutan; pertama-tama adalah Al -Quran dan As-Sunnah apabila
telah tetap, kemudian kedua ijma ketika tidak ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah; ketiga sababat
Nabi (fatwa sababi) dan kami tidak tahu dalam fatwa tersebut tidak ada ikhtilaf di antara mereka,
keempat, ikhtilaf sababat Nabi. kelima, qiyas yang tidak diqiyaskan selain kepada Al-Quran dan
Perbandingan Madzhab | 99
Pola Pemikiran
As-Sunnah karena hal itu telah ada dalam kedua sumber, sesungguhnya mengambil i1mu dari
yang teratas...
Selanjutnya, istidlal Imam Asy-Syafii, semuanya terangkum dalam kitab Ar-Risalah
sekaligus merupakan buku metodologisnya Yang pertama, terutama, ushul fiqhnya.
Thaha jabir, dalam bukunya, Adab Al-Ikhtilaffi Al-Riam, menjelaskan metode
istinbath al-ahkam Imam Syafii sebagai berikut:
“...pertama (ashal), yakni Al-Quran dan Al-Hadis, dan apabila tidak ditemukan
dalam keduanya, qiyas berlaku kepadanya, dan apabila hadis itu sampai sanadnya
kepada Rasulullah, itulah Yang dituju ijma sebab lebih baik dariipada hadis ahad
jika zhahir hadis mencakup beberapa pengertian, zhahir dan pernyataan yang
menyerupainya harus lebih diutamakan. Kemudian, tatkala beberapa hadis saling
menclukung, untuk menentukan tingkatan kesahihannya ditinjau dari segi sanad
hadis-hadis tersebut. Satu hadis yang dipandang sebagai hadis munqathi’, misalnya
bukan hanya yang bersumber dari Ibnu Musayyab. Selanjutnya, bahwa ashal (dalam
pengertian lawan dari furm’ pada lapangan qivas) itu tidak bisa diqiyaskan dengan
ashal yang lain juga bahwa tidak ada kata “kenapa” dan “bagaimana” untuk ashal.
Kata “kenapa” hanya dipakai untuk furu’. Dengan demikian, jika qiyasnya benar
dan berdasar pada “asbat’ Yang benar, benarlah argumen tersebut.”
Dari kutipan di atas, tampaknya Al-Quran, hadis, ijma, dan qiyas menjadi faktor
utama dalam landasan madzhab Imam Syafi’i. sementara metode lainnya seperti:
istinbath, istihsan, sadu dzari’ah dan lainnya hanyalah merupakan suatu metode
dalam merumuskan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya (Al-Quran
Al-Hadis).
Untuk lebih memperjelas tentang metode istinbath al-ahkam Safi’i Musthafa
Muhammad Asy-Syakah,” dalam kitabnya Islamu Bila Madzahib menjelaskan sebagai
berikut.
Pertama, Imam Asy-Syafii mendasari Al-Quran, As-Sunnah, ijma, dan qiyas. Itulah
unsur-unsur dasar yang saling terkait dan disebutkannya dalam kitab yang ditulisnya.
Keterkaitan unsur-unsur tersebut merupakan hal yang baru dalam pemahaman para
Ahlu fiqih pada umumnya. Karena salah seorang Ahlu fiqh, Al.-Karabisi, menyatakan,
“Sebelumnya kami tidak pernah tahu apa yang dimaksud kitabullah, As-Sunnah dan
ijma, hingga datang Syafi’I yang memaparkannya secara terinci”. Sementara itu, Abu
Tsur, seorang Ahlu fiqh lainnya menyatakan bahwa ia memahami adanya nash yang
umum, tetapi bermakna khusus, dan sebaliknya nash yang khusus, tetapi bermakna
umum, setelah mendapat penjelasan dari Syafi’i. Sebelumnya, kami tidak memahami
adanya nash-nash seperti itu, demikan pengakuannya. Contoh ittihad Syafi’i dalam
firman Allah:
100 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Ayat di atas, menurut Syafi›i, ditujukan kepada Nabi, tetapi maksudnya adalah
semua manusia. Metode seperti ini merupakan metode baru dalam i1mu fiqh dan ushul,
dan umat Islam pada umumnya tidak mengenalnya sebelum datangnya Imam Syafii.
Kedua, fiqh Syafi’i merupakan campuran antara fiqh Ahlu Ar- Ra’yi dengan fiqh Ahlu
Al-Hadis. Kedua metode tersebut memilki cara tersendiri dalam mengambil istinbath.
Ahlu Ar-Ra’yi adalah para cendekiawan yang memiliki pandangan yang luas. Akan
tetapi, kemampuan mereka untuk menerima atsar dan As-Sunnah sangat terbatas.
Sementara itu, Ahlu Al-Hadis sangat gigih mengumpulkan hadis, atsar dan beberapa
hal lainnya yang berkaitan dengan perbuatan para sahabat. Namun, mereka bukan Ahlu
munaqasyah dan istinbath. jadi, Ahlu fiqh hendaknya menggunakan ra’yi dan hadis
sekaligus. Dan Syafi’i adalah. seorang ahlu dalam metode tersebut., Kecerdasannya yang
sangat tinggi menjadikannya seorang yang ahlu dalam ra’yi dan munaqayah. Pada saat
yang sama, ia juga seorang yang ahli dalam ilmu hadis yang mampu membangkitkan
para ahlul hadis lainnya sehingga oleh para uhuna lainnya ia dijuluki “penolong,
As-Sunnah”.
Lebih dari itu, ia tidak sekadar ahli dalam kedua pendekatan tersebut, tetapi
juga mampu untuk menyatukan keduanya dan membangun fiqih di atasnya serta
mencetuskan ilmu ushul fiqih yang merupakan salah satu unsure pokok dalam
madzhabnya. Dalam kaitan ini, fakhru Ar-Razi mengatakan, “keterakaitan ilmu ushul
fiqih adalah sebagaimana keterkaitan Aristoteles dengan ilmu kalam, dan Khlalil Ibn
Ahmad dengan ilmu “Arudh. Mereka yang membaca karya-karyanya akan mendapat
kejelasan tentang kemampuannya dalam menentukan urutan-urutan dalam penetapan
dalil.
Ketiga, dalam pandangan syafi’i, pendekatan Ahlu Al-Hadits lebih jelas dalam
masalah ushul. Oleh karena itu, ia menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber hukum
dan pokok-pokok syariat. Setelah itu, ia merujuk kepada hadis. Jika dalam penggunaan
hadis telah dianggap cukup dalam menetapkan hukum, ia tidak menggunakan ra’yi.
Prinsip yang digunakannya adalah seperti yang diucapkannya, “Apa pun pendapat yang
telah aku kemukakan, bila kemudian ada hadis yang berlawanan dengan pendapatku
itu, pernyataan Rasulullah itulah pendapatku.”
Keempat, fiqh Syafi’i menggunakan ijma’ sebagai dasar ketetapan hukum. Hal
itu karena kenyataan secara syar’i untuk menjadikannya sebagai hujjah yang wajib
diamalkan Lalu, ia membuat rumusan untuk pengaturan Syafi’i menempatkan ijma’
pada urutan tiga setelah Al-Quran dan As-Sunnagh (sekalipun berupa hadis ahad atau
satu sanad).
Kelima, Syafi’i juga mengukuhkan qiyas sebagai dasar madzhab. Dapat dikatakan
bahwa Syafi’i adalah orang pertama yang masalah qiyas secara terinci. Pada waktu
itu para Ahlu belum membuat pembatasan antara ra’yu yang sahih dan rayu yang
tidak sahih. Syafi’i kemudian memaparkan kaidah ra’yu yang dianggapnya sahih dan
Perbandingan Madzhab | 101
Pola Pemikiran
istinbath yang tidak sahih. Ia jelaskan pula perbedaan besar antara bermacam-macam
istinbath dan qiyas, menurut kadar yang ditentukannya dalam kaidah itu.
Keenam, Syafi’i menolak penggunaan kaidah istihsan, sebagaimana dinyatakan dalam
kitabnya, ibthalul istihsan, metode ini adalah metode yang biasa digunakan Abu Hanifah.
Menurut syafi’I dalam penerapan metode ini, seorang Ahlu Fiqh setelah merujuk
kepada Al-Quran, As-Sunnah, Ijma, Qiyas, ia menetapkan hukum yang dipandangnya
baik, bukan hanya berpegang pada dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Lebih lanjut, Imam
Syafi’I menyatakan, “Bila Ijtihad digunakan dengan metode istihsan, tanpa sepenuhnya
bersandar pada pokok syariat atau nash dan As-Sunah, ijtihad tersebut batil. Dengan
demikian seluruh hasil ijtihad yang menggunakan metode ini batil pula hukumnya.”
Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas dan ijma tidak dipandang
sebagai prinsip yang statis, tetapi sebagai suatu proses asimilasi, interpretasi, dan
adaptasi yang dinamis dan wajar. Hal ini terlihat dengan jelas dalam bagian lain dari
tulisan Syafi’i yang walaupun agak berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif
mengenai masalah tersebut dengan mengungkapkan sikap yang sebenimya dan yang
serba meliputi ijma.
Oleh karena itu, metode dan paradigma pemikiran Syafi’i selalu terlihat dalam
pemikiran-pemikiran yang dibangun ulama sebelumnya. Penalaran analogis
(qiyas) Imam Syafi’i, juga menawarkan pemahaman baru. Apa yang dirumuskan
ulama-ulama sebelumnya disebut oleh Syafi’i qiyas bil furu, penalaran analogis terhadap
masalah-masalah partikular dengan berpijak pada suatu prinsip tertentu terkandung
dalam suatu preseden. Sebuah kasus dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau
disamakan dengan preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang
disebut illat. Adapun metode-metode yang lain, seperti istihsan, istishab, sad dzara’i dan
metode lainnya dimasukkan ke dalam qiyas bil qawaid (penalaran analogis) terhadap
prinsip umum yang terkandung dalam suatu preseden itu sendiri.`
Karena nuansa pemikirannya yang sangat luas itu, beberapa metode Syafi”i menjadi
sebuah “jalan tengah” dan karena itu, ia dijuluki imam yang moderat. Hal itu ia
lakukan demi tegaknya suatu hukum dengan penuh objektivitas dan ilmiah. Tak jarang
ia lakukan beberapa observasi atau penelitian tentang suatu kasus.
Analisis objektif diberikan oleh orientalis, seperti Joseph Schacht terhadap pola pikir
Imam Asy-Syafii. Menutut Schacht, sistematika dan Islamisasi logika formal dalam
Islam telah sampai pada puncaknya oleh Imam Asy-Syafi’i.” Pada prinsipnya, Syafii
hanya mengakui cara berpikir analogis dan sistematis yang terbatas (qiyas, Ijtihad, juga
‘akl ataupun ma’kul, pokoknya, apa yang dapat dikatakan rajionable secara ‘ sempit).
Dia tidak menerima pendapat- pendapat arbitret dan ketetapan-ketetapan yang bebas
(ra’y) dan istihsan yang dipakai (Syafi’i sebagai sinonim), hal semacam tetsebut menjadi
kebiasaan bagi pendahulu-pendahulunya. Ini merupakan pembaharuan penting
dengan pembaruan teori hukum Syafi’i sangat berbeda dengan teori aliran hukum
102 | Perbandingan Madzhab
Modul III
lama. Pandangan Schacht secara keseluruhan kepada Imam Asy-Syafi’i penulis kutip
sebagai berikut:
Syafii berkeyakinan penuh bahwa Al-Quran tidak akan berlawanan dengan
hadis-hadis dari Nabi dan hadis-hadis itu merupakin penjelasan Al-Quran. Oleh
karena itu, Al Quran haruslah diinterpretasikan dengan menggunakan keterangan
hadis, bukan sebaliknya. Bagi Syafi’i, As- Sunnah tidak lagi merupakan praktik ideal
sebagaimana yang diakui oleh ulama-ulama representatif, As-Sunnah identik dengan
isi hadis formal dari Nabi walaupun hadis semacam itu diriwayatkan oleh hanya satu
orang dalam satu generasi. Menurut Syafi’i dan juga aliran-aliran lama, hanya para
sahabat Nabi yang sangat mengetahui apa yang dimaksud oleh Nabi sendiri. Pendapat
dan praktik-praktik yang berdasarkan pendapat pribadi, yakni pendapat yang tidak
bersurnberpada para sahabat Nabi tidak mempunyai otoritas sama sekali. Konsep baru
As-Sunnah ini tercermin dalam hadis resmi Nabi mengungguli konsep hadis yang
berkembang di kalangan ahran hadis lama. Hadis-hadis Nabi dari Nabi dapat ditolak
otoritasnya dengan referensi Al-Quran.... kesimpulannya.... secara keseluruhan teori
hukum Syafi’i merupakan suatu hasil karya sistematis yang sempurna yang jauh lebih
unggul daripada teori aliran lama, dan dia menjadi pendiri ilmu ushul_fiqh, satu disiplin
ilmu yang membahas dasar-dasar teoretis hukum Islam. Ini adalah prestasi dari satu
pikiran yang perkasa dan sekaligus merupakan suatu hasil logis dari suatu proses yang
telah dimulai pada masa-masa awal perkembangan hukum- hukum Islam.
Sistematika Hukum Imam Syafi’i, secara substansial tidak berubah, tetapi secara
realitasnya, ijtihadnya mengalami dinamika seperti adanya qaul qadim dan qaul jadid.
Sekadar ilustrasi, berikut ini disajikan beberapa qaul qadim dan qaul jadid hasil penelitian
Jaih Mubarok, pada hakman berikut.
D. MADZHAB HANBALI: IMAM HANBALI
Thaha jabir, dalam kitabnya Adab Al-lkhtilaf dan Abu Zahrah, dalam kitabnya Tarikh
Madzhabib al-Fiqhyah, menjelaskan bahwa cara ijtihad Imam Ahmad Ibn Hanbal sangat
dekat dengan cara ijtihad Asy-Syafi’i. Ibn Qayyim Al-jauziyyah menjelaskan bahwa
pendapat-pendapat Ahmad Ibn Hanbal dibangun atas lima dasar, yaitu:
1. An-nushnush dari Al-Quran dan As-Sunnah. Apabila telah terdapat ketentuannya
dalam nash tersebut, ia berfatwa dan tidak mengambil yang lainnya; karena itu nash
didahulukan atas fatwa sahabat;
2. Ahmad Ibn Hanbal berfatwa dengan fatwa sahabat, ia memilih pendapat sahabat
ying tidak menyalahinya (ikhtilaf) (sudah sepakat);
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad Ibn Hanbal memilih salah satu
pendapat mereka yang lebih dekat kepada Al-Quran dan As-Sunnah;
4. Ahmad Ibn Hanbal menggunakan hadis mursal dan dhaif apabila tidak ada atsar, qaul
sahabat, atau ijma yang menyalahinya;
Perbandingan Madzhab | 103
Pola Pemikiran
5. Apabila tidak ada dalam nash, As-Sunnah, qaul sahabat, riwayat masyhur, hadis
mursal dan dhaif, Ahmad Ibn Hanbal menganalogikan (menggunakan qiyas) dan
qiyas baginya adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa.
Dengan demikian, sistematika sumber hukum dan istidlal Madzhab Hanbali [Imam
Ahmad], sebagaimana diringkas oleh, Salim Ali Ats-Tsaqafi, terdiri dari:
1. nushus [AI-Quran, As-Sunnah dan nash ijmal]
2. fatwa-fatwa sahabat;
3. hadis-hadis mursal dan dhaif,
4. qiyas;
5. istihsan;
6. sadd adz-dzirai;
7. istishab; dan
8. al-mashlahat al-mursalat.
Melihat dasar-dasar Imam Hanbali, tampak bahwa penggunaan rasio dipersepit
sampai batas tertentu. Bahkan, dalam analisis Mun’im A. Sirry, dalam banyak hal,
pemikiran Imam Hanbali dirujukkan pada fatwa-fatwa sahabat tanpa membedakan
apakah fatwa itu berdasarkan As-Sunnah, atsar atau ijdhad. Meskipun fatwa itu
merupakan rujukan kedua setelah As-Sunnah. Berbeda dengan Asy-Syafi’i bila terjadi
taarud antara hadis dan fatwa sahabat, mengambil hadis. Apalagi Imam Hanafi tidak
mengagunakan fatwa abat, kecuali setelah diketahui melalui qiyas.
Predikat sebagai imam tradisional tampaknya “tepat” bagi Imam Ahmad di
samping faktor multialiran dan pemahaman pada saat yang memengaruhi pemikiran
tradisionalisnya.
Predikat imam tradisionalis kepada Imam Ahmad tampaknya tidak kaku dan mati.
Sebab, dalam. beberapa hal, Imam Hanbali menggunakan mashlahat mursalahat.
Sebagaimana dikatakan, oleh Abu Zahrah, bahwa, “Imam Hanbal. menggunakan
mashlahat mursalah sebagai bagian dari qiyas. Karena mashlahat mursalah adalah
qiyas terhadap kemashlahatan umum yang memberikan manfaat yang didasarkan
kepada sekumpulan nash Al-Quran dan nubuwah sebagaimana Imam Maliki
menggunakannya”.
Beberapa contoh fiqh Imam Ahmad, sebagai berikut:
Dalam bidang pemerintahan, sebagaimana dikatakan oleh Abu Zahtah, “Pemikiran
Ahmad Ibn Hanbal tentang kepemimpinan mengikuti manhaj salaf [dari kalangan
Quraisy], sedangkan ketaatan kepada khalifah adalah mutlak meskipun khalifah
termasuk fajir Ahmad Ibn Hanbal berpendapat sebagai berikut:
Artinya:
Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mukminin (adalah wajib), baik ia seorang
yang baik mampun yang fajir”
104 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Selanjutnya, Ahmad Ibn Hanbal berpendapat bahwa umat Islam wajib taat kepada
imam dan amirul mukminin, apabila seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak
taat kepada pemimpin, ia termasuk yang mati sebagai jahiliah
menjelaskan bahwa dasar-dasar pemikiran fiqih Abu Hanifah, sebagai berikut:
“Aku (Abu Hanifah) mengambil kitab Allah. Bila tidak ditemukan di dalamnya,
aku ambil dari sunnah Rasul, jika aku tidak menemukan pada kitab dan As-
Sunnahnya, aku ambil pendapat-pendapat sahabat. Aku ambil perkataan yang aku
kehendaki dan aku tinggalkan pendapat-pendapat yang tidak aku kehendaki. Dan
aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat orang lain selain mereka.
Adapun apabila telah sampai urusan itu atau telah dating kepada Ibrahim, Al-
Syaibani, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Atha, Sa’id, dan Abu Hanifah menyebut beberapa
orang lagi, mereka orang-orang yang telah berijtihad.”
Selain itu, Hasby Asy-Syiddieqy, menguraikan dasar-dasar pegangan Imam Hanafi
sebagai berikut.
“Pendirian Abu Hanifah sebagaimana Hanafiyah, ialah mengambil dari orangorang
kepercayaan, dan lari dari keburukan, memerhatikan muamalah manusia dan
apa yang telah mendatangkan maslahat bagi urusan mereka. Beliau menjalankan
urusan asas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, beliau melakukannya atas
istihsan, selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan beliau kembali
kepada ‘urf masyarakat. Dan mengamalkan hadits yang terkenal yang telah
diijmakan ulama, kemudian beliau meng-Qiyas-kan sesuatu kepada hadits itu
selama qiyas masih dapat dilakukan. Kemudian, beliau kembali kepada istihsan,
mana diantara keduanya yang lebih tepat”.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar pegangan madzhab Hanafi
adalah:
1. Kitab Allah (Al-Qur’an)
2. Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur di antara para
ulama yang ahlu
3. Fatwa-fatwa dari sahabat
4. Ijma
5. Al-Qiyas
6. Al-Istihsan
7. Al-‘Urf
Perbandingan Madzhab | 91
Pola Pemikiran
1. Al-Kitab (Al-Qur’an)
Suatu hal yang menjadi permasalahan Al-Kitab dalam pandangan Madzhab
Hanafi adalah apakah yang dinamakan Al-Qur’an itu hanya makna lafaznya saja
atau kedua-duanya, menurut As-Sarkhasi, Al-Quran dalam pandangan Hanafi
hanya maknanya saja, bukan lafazh dan makna. Adapun menurut Al-Badzdzawi,
Abu Hanifah menetapkan Al-Quran adalah lafazh dan maknanya.
Jika diambil pendapat As-Sarkhasi, Abu Hanifah membolehkan kita shalat dengan
membaca terjemahan Al-Fatihah dan dapat dipandang bahwa terjemahan Al-Quran
sama dengan Al-Quran itu sendiri.
Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh tidak adanya pendapat yang jelas dari
Abu Hanifah. Akan tetapi, menurut sebuah riwayat, Abu Hanifah pernah berkata,
“Ia membolehkan membaca terjemahan Al-Quran dalam shalat, baik kita dapat
membaca ataupun tidak. Pendapat tersebut dibantah Abu Yusuf dan Muhammad
Al-Hasan, yang tidak membolahkan hal tersebut, kecuali apabila tidak sanggup
membaca Al-Quran dengan lafazh arabnya.
Ulama Madzhab Hanafi berpandangan bahwa pesan Al-Quran tidak semuanya
qath’i ad-dalalah. Ada beberapa hal yang memerlukan interpretasi terhadap hukum
yang di tunjukan oleh Al-Quran tersebut, terutama ayat-ayat yang menerangkan
muamalah umum antar manusia.
Dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah tersebut, porsi penggunaan
akal dalam mencari hukum suatu mashlahah lebih besar. Hal itu telah dibuktikan,
baik oleh Imam Hanafi maupun oleh murid-muridnya, dank arena ini juga Madzhab
Hanafi dijuluki sebagai madzhab yang paling Umari, dan madzhab liberalis, dan
rasionalis.
Dalam memahami Al-Quran, ualama Madzhab Hanafi tidak hanya melakukan
interpretasi terhadap ayat-ayat yang masih mujmal, tetapi mereka juga melakukan
penelaahan terhadap ‘aam dank has ayat Al-Quran tersebut. Dan inilah yang
tampaknya menjadi ciri khas ulama-ulama Irak yang dipelopori oleh Imam Hanafi
dan ulama-ulama Hijaz yang semadzhab dengan mereka.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum khas mencapai yang muhkam adalah qath’I
tanpa perlu adanya bayan, karena khasbasul qur’an. Qath’i di dalamnya, dan segala
nash yang mengubah hukumnya di pandang nasikh, dan nasikh harus sama kuatnya
dari segala tsubut-nya. Pendapat ulama Hanafiyah tersebut merupakan hasil takhrij
dari hukum-hukum furu yang ditetapkan oleh Abu Hanifah sendiri.
Hal inilah yang menjadikan salah satu titik yang membedakan fuqaha ra’yi dan
fuqaha hadis. Fuqaha ra’yi mengumumkan Al-Quran, tidak mengkhususkan dengan
hadis ahad. Fuqaha hadits sebagaimana yang dikemukakan oleh Asy-Syafi’I dalam
Ar-Risalah dan Al-Umm, mengkhususkan amm Al-Quran dengan hadis ahad.
92 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Ayat-ayat Al-Quran yang berpautan dengan hukum, selain diteliti dari segi
amm dank has-nya, juga harus ada usaha bayan, karena sifatnya mujmal atau agak
tersembunyi maknanya, memerlukan tafsir, takwil, atau sifat-sifatnya muthlaq
memerlukan taqyid. Oleh Karena itu ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Assunnah
bias menjadi bayan bagi Al-Quran.
Bayan Al-Quran menurut hanafi terbagi tiga bagian:
1. Bayan taqrir, seperti sabda Nabi, “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan
berbukalah kamu sesudah melihatnya”
2. Bayan tafsir, seperti hadits yang menerangkan kaifiyat shalat, kaifiyat haji, zakat,
cara memotong tangan pencuri dan menerangkan hukum-hukum yang berkenaan
dengan riba.
3. Bayan tabdin atau yang disebut juga bayan nasakh. Al-Quran boleh dinasahkan
dengan As-sunnah dengan syarat bahwa As-sunnah tersebut adalah mutawatir
atau masyhurah dan mustafidhah.
2. As-Sunah
Dasar yang digunakan oleh Mazhab Hanafi adalah As-Sunnah. Martabat As-
Sunnah terletak dibawah Al-Quran. Imam Abu Yusuf berkata, “Aku belum pernah
melihat seseorang yang lebih alim tentang menafsirkan hadis daripada Abu Hanifah.
Ia adalah seorang yang mengerti tentang penyakit-penyakit hadis dan men-ta’dil dan
men-tarjib hadis.”
Tentang dasar yang kedua ini, Mazhab Hanafi sepakat mengamalkan As-
Sunnah yang mutawatir, mashur, dan shahih. Hanya saja, Imam Hanafi sebagaimana
ulama Hanafiyah, agak ketat menetapkan syarat-syarat yang dipergunakan untuk
menerima hadis ahad.
Abu Hanifah menolak hadis ahad apabila berlawanan dengan ma’na Al-Quran,
baik makna yang diambil dari nash, atau yang diambil dari illat hukum. Ali Hasan
Abd. Al-Qadir mengatakan, “Musuh-musuh Abu Hanifah (orang yang tidak senang
dengan Abu Hanifah) menuduhnya tidak memberikan perhatian yang besar terhadap
hadis. Ia memprioritaskan ra’yu. Abu Shalih Al-Fura menuturkan, “Aku mendengar
Ibn Asbath berkata, “Abu Hanifah menolak 400 atau lebih hadis.”
Abu Hanifah menerima hadis ahad, jika tidak berlawanan dengan qiyas. Tetapi
jika berlawanan hadis ahad dengan qiyas yang illatnya mustanbath dari suatu ashal
yang dhanni, walaupun dari ashal yang qath’i, atau diistanbathkan dari ashal yang
qath’i, tetapi penetapannya kepada furu adalah dhanni, maka hadis ahad didahulukan
atas qiyas.
Perbandingan Madzhab | 93
Pola Pemikiran
3. Fatwa Shahabi
Imam Abu Hanifah sangat menghargai pendapat para sahabat. Dia menerima,
mengambil, serta mengharuskan umat Islam mengikutinya. Jika ada pada suatu
masalah beberapa pendapat sahabat, maka ia mengambil salah satunya. Dan jika
tidak ada pendapat-pendapat sahabat pada suatu masalah, ia berijtihad dan tidak
mengikuti pendapat tabiin. Menurut Abu Hanifah, ijma sahabat ialah: “Kesepakatan
para mujtahidin dari umat Islam di suatu masa sesudah Nabi, atas suatu urusan.”
Ta’rif itulah yang disepakati ulama Ahlu Al-Ushul. Ulama Hanafiyah menetapkan
bahwa ijma itu dijadikan sebagai hujjah. Mereka menerima ijma qauli dan ijma sukuti.
Mereka menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum baru terhadap suatu urusan yang
telah disepakati oleh para ulama, karena membuat hukum baru adalah menyalahi
ijma. Paling tidak, ada tiga alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dalam
menerima ijma’ sebagai hujjah:
a. Para sahabat berijtihad dalam menghadapi masalah yang timbul. Umar bin
Khaththab dalam menghadapi suatu masalah, sering memanggil para sahabat
untuk diajak bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila dalam musyawarah
tersebut diambil kesepakatan, Umar pun melaksanakannya.
b. Para Imam salalu menyesuaikan pahamnya dengan paham yang telah diambil
oleh ulama-ulama di negerinya, agar tidak dipandang ganjil, dan tidak dipandang
menyalahi umum. Dan Abu Hanifah tidak mau menyalahi sesuatu yang telah
difatwakan oleh ulama-ulama Kufah.
c. Hadis-hadis yang menunjukkan keharusan menghargai ijma seperti:
Dengan demikian, jelaslah bahwa ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma
merupakan salah sartu hujjah dalam agama, yang merupakan hujjah qath’iyyah.
Mereka tidak membedakan antara macam-macam ijma. Oleh karena itu, apapun
bentuknya kesepakatan yang datangnya dari kesepakatan para ulama/masyarakat,
itu berhak atas penetapan suatu hukum dan sekaligus menjadi hujjah hukum.
4. Qiyas
Qiyas adalah penjelasan dan penetapan suatu hukum tertentu yang tidak ada
nashnya dengan melihat masalah lain yang jelas hukumnya dalam Kitabullah atau
As-Sunnah atau ijma’ karena kesamaan illatnya. Yang menjadi pokok pegangan
dalam menjalankan qjyas adalah bahwa segalanya hukum syara’ ditetapkan
untuk menghasilkan kemashlahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Hukum-hukum itu mengandung pengertan-pengertian dan hikmah-hikmah yang
menghasilkan kemashlahatan, baik yang diperintahkan maupun yang dilarang,
atau yang dibolehkan maupun yang dimakruhkan. Semuanya demi, kemashlahatan
umat.
94 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa semua masalah yang baru timbul dan
tidak ada hukumnya dalam Al-Quran dan As- Sunnah serta ijma’, boleh diqoaskan
begitu saja, atas dalil kemashlahatan umum. Ada beberapa syarat dan rukun yang
harus dipenuhi tatkala hendak mengqiaskan suatu permasalahan kepada hukum
lama.
Di antara rukun yang harus dipenuhi dalam qias adalah: 1). ashal, yaitu sesuatu
yang dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiaskan, dalam istilah ushul
fiqh disebut al-ashlu atau al-musyabbah bihi; 2) cabang (al-far’u), yaitu sesuatu yang
tidak dinashkan hukumnya. Dalam istilah ushul fiqh disebut al-far’u almaqis atau
al-musyabbah; 3) hukum ashal, yaitu hukum yang dinashkan pada pokok yang kemudian
akan menjadi hukum pada cabang; 4) illat hukum, yaitu sifat yang nyata dan tertentu
yang berkaitan atau yang munasabah dengan ada dan tidak adanya hukum. Dan illat
inilah yang akan menjadi titik tolak serta pijakan dalam melaksanakan qiyas.
Tentang illat hukum yang ada dalam nash, tidak semua nash itu dapat diselami
illatnya oleh akal pikiran. Oleh karena itu Hanafiyah membagi nash itu pada dua
bagian:
1. Nushus ta’abbudiyah, yaitu nash-nash yang berkenaan dengan masalah-masalah
ibadah, seperti masalah tayamum, ibadah haji dan lainnya. Pada nash ini tidak
dilakukan qiyas. Karena hukumnya telah disyariatkan Allah, serta ada kaidah
yang mengatakan “tidak ada qias dalam masalah ibadah”.
2. nash-nash yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan illatnya itu.
Nash inilah yang disebut nash mu’allal, nash-nash yang diteliti illatnya, maksudnya,
sebab, dan ghayah- ghayahnya, dan pada nash ini berlaku qias.
5. Istihsan
Istihsan yang, diartikan sebagai “konstruksi yang menguntungkan” (favourable
construction), atau juga sering dikatakan sebagai pilihan hukum (juristic preference)
dijadikan hujjah oleh fuqaha Madzhab Hanafi (Abdullah Ahmed An-Naim, 1994:
50). Daripada menggunakan dan mengikuti qiyas secara kaku, seorang fuqaha
Hanafi lebih suka memilih (yabtasin) jalan keluar yang lain, yaitu meninggalkan qias
yang tersembunyi atau halus (qiyas khafi), sebuah divergensi qiyas yang jelas (jali)
dan bersifat eksternal dengan model pengambilan keputusan dari dalam diri yang
terkondisi.
6. Al-‘urf
Urf (adat kebiasaan), dalam batas-batas tertentu diterima sebagai sumber syariah
oleh madzhab Hanafi. Menurut madzhab Hanafi, ‘urf dapat melampaui qias, namun
tidak dapat melampaui nash Al-Quran dan As-Sunnah. Sahal ibn Muzahim berkata,
“Pendirian Abu Hanifah adalah mengambil yang tepercaya dan lari dari keburukan
Perbandingan Madzhab | 95
Pola Pemikiran
setta memethatikan muamalah manusia dan apa yang mendatangkan mashlahat
bagi mereka. Ia melakukan segald urusan atas qiyas. Apabila tidak baik dilakukan
qiyas, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat
dilakukan istihsan, kembalilah ia kepada ‘urf manusia. (Abdullah Ahmed An-Naim,
1994: 53).
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik metode
Abu Hanifah adalah: pertama, Abu Hanifah menggunakan qias atau istihsan yang
tidak ada, nash. Abu Hanifah hanya mengambil yang lebih tepat di antara qiyas
dan istihsan. Kedua, apabila tidak dapat dijalankan qiyas atau istihsan, Abu Hanifah
mengambil ‘urf, apabila tidak ada nash Al-Quran, As-Sunnah, ijma, dan istihsan, baik
istihsan qiyas maupun istihsan istisna’i (atsar, istihsan ijma, dan istihsan darurat).
Dalam pandangan Barat, Abu Hanifah tampaknya telah memainkan peranan
sebagai seorang penyusun teori yang sistematis yang telah mencapai banyak kemajuan
di dalam mengembangkan dasar hukum yang bersifat teknis. Abu Hanifah bukanlah
seorang qadhi seperti Abu Layla, karena itu, cara berpikirnya tidak begitu terikat
dengan pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan tugas sehari-hari atau
praktis. Meskipun diakui bahwa pemikirannya berpandangan lebih luas dan cermat
daripada tokoh tua semasanya...
B. MADZHAB MALIKI: IMAM MALIK
Sistematika sumber hukum atau instinbath Imam Maliki, pada dasarnya, ia tidak
menuliskan secara sistematis. Akan tetapi para, muridnya atau madzhabnya menyusun
sistematika Imam Malik sebagaimana Qadhiyad dalam kitabnya AI-Mudarak, sebagai
betikut:
“Sesungguhnya manbaj imam Dar Al-Hijrah, pertama, ia mengambil Kitabullah,
jika tidak ditemukan dalam Kitabullah nashnya, ia mengambil As-Sunnah kategori
As-Sunnah menurutnya, hadis-hadis nabi Saw dan fatwa sahabat, amal AhIu almadinah,
al-qiyas, al mashlahah al-mursalah, sadd adz-Dzara’i al-‘urf, dan “al-addt”
Secara analitik, dijelaskan pula oleh Muhammad Salam Madkur dalam kitab
Al-ljtihadu fi At-Tasyri’ Al-IsIami, bahwa Imam Malik berpegang teguh kepada Al-Quran,
Sunnah mutawatir, ij’ma, terutama ijma, Ahlu Madinah. Adapun ijma selain, itu, dicari
yang paling kuat; qaul sahabat [kibar] karena perkataan mereka dati Nabi %, fatwa kibar
tabiin diperhatikan, tetapi sebagian besar Imam Maliki mendahulukan hadis ahad atas
qiyas apalagi kabar ahad yang sesuai dengan Ahlu Madinah. Istihsan, maslahat, saddu
dzariah dipegang oleh Imam Malik yang sesuai dengan dalil kulli, bahkan sar’u man
qablana (syariat sebelum Nabi) diambil selama tidak ada dalam syariat kami.
Dalam ringkasan Thaha Jabir, Madzhab Malik atau madzhab orang Hijaz-sahabat
Imam Said Al-Musayyab, memiliki kaidah-kaidah ijtihad sebagai berikut:
(1) Mengambil dari Al-Quran [Al-Kitab Al-Aziz];
96 | Perbandingan Madzhab
Modul III
(2) Menggunakan zhahir Al-Quran, yaitu lafazh yang umum;
(3) Menggunakan “dahr” Al-Quran, yakni mafhum al-mukhalafah;
(4) Menggunakan “mafhum” Al-Quran, yaitu mafhum muwafaqah;
(5) Menggunakan “tanbih” Al-Quran, yaitu memerhatikan illat.
Lima langkah di atas disebut sebagai Ushul Khamsah. Adapun langkah-langkah dari
segi “Al-Sunnah” ada sepuluh, yaitu:
(1) ljma
(2) Qiyas,
(3) Amal penduduk Madinah,
(4) Istihsan,
(5) Sadd adZ-Zara’i,
(6) Al-mashalih al-mursalab,
(7) Qaul ash-shahabi, [jika sanadnya sahih, ia bagian yang diterima]
(8) Muralat al-khilaf, [jika dalil ikhtilafnya kuat],
(9) Al-istishhab dan,
(10) Syaru’ man qablana.
a. Al-Quran
Dahun pandangan Malik, Al-Quran adalah di atas semua dalil-dalil hukum. Ia
menggunakan nash sharih [jelas] dan tidak menerima ta’wil. Dzahir Al-Quran diambil
ketika bersesuaian dengan takwil selama tidak didapati dalil yang mewajibkan
takwil. Imam Malik menggunakan mafhum al-Muwafaqat, yaitu fahwa al-kitab. Selain
itu, Imam Malik menggunakan mafhum al-mukhalafah, tanbih atas illat, isyarat [qarinah].
Imam Malik mendahulukan Al-Quran selama tidak ada dalam As-Sunnah.
b. As-Sunnah
Madzhab Malik Imam Malik mengambil sunnah yang mutawatir, masyhur
[setingkat dibawah mutawatirl, dan kbabar ahad [sebagian besar, mendahulukan
hadis ahad dari qiyas].” Selain itu, Imam Malik menggunakan hadis munqathi dan
mursal selama tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah.
c. Amalan Ahlu Al-Madinah [Al-’urf]
Imam Malik memegang tradisi Madinah sebagai hujjah [dalil] hukum karena
amalannya, dinukil langsung dari Nabi. Ia mendahulukan amal Ahlu Al-Madinah
ketimbang khabar ahad sedangkan para fuqaha tidak seperti itu.
d. Fatwa sahabat
Fatwa sahabat digunakan oleh Imam Malik karena ia atsar di mana sebagian
para sahabat melakukan manasik haji dengan Nabi. Oleh karena itu, qaul shahabi
Perbandingan Madzhab | 97
Pola Pemikiran
digunakan sebab bila dinukil dari hadis. Bahkan, Imam Malik mengambil juga fatwa
para kibar attabiin meskipun derajatnya tidak sampai ke fatwa sahabat, kecuali
adanya ijma para Ahlu Madinah.”
e. ljma
Imam Malik paling banyak menyandarkan pendapatnya pada iima’ seperti tertera
dalam kitabnya Al-Muwatbtba kata-kata al-amru al-mujtama’ ‘alaih dan sebagainya.
Ijma Ahli Madinah pun dijadikan hujjah, seperti ungkapannya, hadza huwa al-amru
al-mujtama’ alaihi indana. Asal amalan Madinah tersebut berdasarkan Sunnah, bukan
hasil ijtihad fatwa.
f. Qiyas, Mashlahat Mursalat, dan Istihsan
Qiyas yang digunakan Imam Malik adalah qias isthilahi,sedangkan istihsan
adalah memperkuat hukum mashlahat juziyah atas hukum qiyas. Qiyas adalah
menghubungkan suatu kasus yang tidak dijejaskan nash dengan suatu perkara yang
ada nashnya karena ada kesesuaian antara kedua perkara tersebut pada Mat kedua
hukum tersebut. Adapun mashlahat juziyah tidak se’perti itu. Dalam menetapkan
hukum, inilah yang disebut isfibsan isbtbilabi. Menurut kami, istihsan adalah hukum
mashlahat yang tidak ada nashnya.
Sedangkan mashlahat mursalat adalah mashlahat yang tidak adanashnya untuk
melaksanakan atau tidak. Mashlahat mursalah yang kami gunakan dengan syarat
bertujuan meniadakan kesukatan. Hal itu merupakan mashlahat yang. sudah umum
dalam hukum Islam meskipun tidak ada nashnya secara tersendiri. Mashlahat yang
kami gunakan tak lain adalal?isdhsan, sementara qiyas yang kami pegang adalah
qiyas yang tidak ada nashnya tentang kesempitan yang luas.
Secara umum, Imam Malik menggunakan mashlahat meskipun tidak ada nash
atau-hadis Nabi karena tujuan syara’ adalah untuk kemashlahatan umat manusia,
dan setiap nash pasti mengandung nilai mashlahat jika tidak ada nash, mashlahat
hakiki adalah melihat tujuan hukum syara.
g. Adz-Dzara’i
Sadz Adz-Dzara’i, dasar istinbath yang sering dipakai oleh Imam Malik. Maknanya
adalah menyumbat jalan. Wasilahnya haram, haram, wasilahnya hahd, hakd.
Demikian pula dalam mashlahat yang harus dicari. Wasilah kepada keinunkaran
haram dan harus dicegah.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Imam Malik ibn Anas dalam berfatwa,
pertama, Al-Quran, As-Sunnah terutama As Sunnah orang-orang Madinah yang
setingliat dengan As-Sunnah mutawatirah. Pen, ijma, dan qiyas. Demikian pula,
Asy-Syatibi menyederhanakan dasar-dasar Imam Malik adalah Al-Quran, Sunnah,
ijma dan ra’yu.
98 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Penyederhanaan tersebut tampaknya beralasan; sebab qaul sahabat dan tradisi
orang Madinah dalam pandangan Malik adalah bagian dari Sunnah, sedangkan
ra’yu meliputi mashlahat mursalat, sadd adZ-dzariat, urf, istihsan, dan istishab.
Dari berbagai uraian di atas dapat dipahami bahwa Imam Malik adalah
seorang yang berpikiran tradisional. Hanya karena kedalaman ilmunya, ia dapat
mengimbangi berbagai perkembangan yang terjadi saat itu. Namun, ada beberapa
hal yang perlu digaris bawahi dalam manhij Imam Malik.
Pertama, Imam Malik mendahulukan amalan orang-orang Madinah sebelum
qiyas, suatu metode yang tidak dipergunakan fuqaha lainnya. Amalan orang-orang
Madinah dalam pandangan Imam Malik, termasuk kategori As-Sunnah mutawatirah,
karena pewatisannya melalui generasi ke generasi yang dilakukan secara serernpak
sehingga menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan dari As-Sunnah. Hal
itu terbukti karena orang-orang Madinah [para sahabat] bergaul langsung dengan
Nabi dan mengembangkan tradisi hidup Nabi yang dikemudian hari diwariskan
kepada tabi’in dengan cara yang sama. Pola ini diikuti pula tabi at-tabiin. “Tradisi
orang Madinah” lebih jelas diterima oleh Imam Malik dalam peneritnaan hadis
ahad. Menurutnya, suatu hadis ahad dapat diterima sepanjang tidak bertentangan
dengan tradisi orang-orang Madinah. Kedua, qaul sahabat sebagai dalil syar’i yang
didahulukan daripada qiyas. Pendapat ini ditanggapi keras oleh Imam Syafi’i,
dengan alasan bahwa dalil hanya dapat diperoleh dari orang-orang ma’sum. Ketiga,
Imam Malik menggunakan mashlahat al-mursalah. Hal ini menunjukkan bahwa
Imam Malik menggunakan rasio ketika tidak ada penjelasan Al-Quran dan Al-Hads
tentang kasus tertentu.
C. MADZHAB SYAFI’I: IMAM ASY-SYAFI’I
Pola pikir Imam Asy-Syafi’i secara garis besar dapat dilihat dari kitab Al-Um, yang
menguraikan sebagai betikut:
Artinya:
Ilmu itu bertingkat secara berurutan; pertama-tama adalah Al -Quran dan As-Sunnah apabila
telah tetap, kemudian kedua ijma ketika tidak ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah; ketiga sababat
Nabi (fatwa sababi) dan kami tidak tahu dalam fatwa tersebut tidak ada ikhtilaf di antara mereka,
keempat, ikhtilaf sababat Nabi. kelima, qiyas yang tidak diqiyaskan selain kepada Al-Quran dan
Perbandingan Madzhab | 99
Pola Pemikiran
As-Sunnah karena hal itu telah ada dalam kedua sumber, sesungguhnya mengambil i1mu dari
yang teratas...
Selanjutnya, istidlal Imam Asy-Syafii, semuanya terangkum dalam kitab Ar-Risalah
sekaligus merupakan buku metodologisnya Yang pertama, terutama, ushul fiqhnya.
Thaha jabir, dalam bukunya, Adab Al-Ikhtilaffi Al-Riam, menjelaskan metode
istinbath al-ahkam Imam Syafii sebagai berikut:
“...pertama (ashal), yakni Al-Quran dan Al-Hadis, dan apabila tidak ditemukan
dalam keduanya, qiyas berlaku kepadanya, dan apabila hadis itu sampai sanadnya
kepada Rasulullah, itulah Yang dituju ijma sebab lebih baik dariipada hadis ahad
jika zhahir hadis mencakup beberapa pengertian, zhahir dan pernyataan yang
menyerupainya harus lebih diutamakan. Kemudian, tatkala beberapa hadis saling
menclukung, untuk menentukan tingkatan kesahihannya ditinjau dari segi sanad
hadis-hadis tersebut. Satu hadis yang dipandang sebagai hadis munqathi’, misalnya
bukan hanya yang bersumber dari Ibnu Musayyab. Selanjutnya, bahwa ashal (dalam
pengertian lawan dari furm’ pada lapangan qivas) itu tidak bisa diqiyaskan dengan
ashal yang lain juga bahwa tidak ada kata “kenapa” dan “bagaimana” untuk ashal.
Kata “kenapa” hanya dipakai untuk furu’. Dengan demikian, jika qiyasnya benar
dan berdasar pada “asbat’ Yang benar, benarlah argumen tersebut.”
Dari kutipan di atas, tampaknya Al-Quran, hadis, ijma, dan qiyas menjadi faktor
utama dalam landasan madzhab Imam Syafi’i. sementara metode lainnya seperti:
istinbath, istihsan, sadu dzari’ah dan lainnya hanyalah merupakan suatu metode
dalam merumuskan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya (Al-Quran
Al-Hadis).
Untuk lebih memperjelas tentang metode istinbath al-ahkam Safi’i Musthafa
Muhammad Asy-Syakah,” dalam kitabnya Islamu Bila Madzahib menjelaskan sebagai
berikut.
Pertama, Imam Asy-Syafii mendasari Al-Quran, As-Sunnah, ijma, dan qiyas. Itulah
unsur-unsur dasar yang saling terkait dan disebutkannya dalam kitab yang ditulisnya.
Keterkaitan unsur-unsur tersebut merupakan hal yang baru dalam pemahaman para
Ahlu fiqih pada umumnya. Karena salah seorang Ahlu fiqh, Al.-Karabisi, menyatakan,
“Sebelumnya kami tidak pernah tahu apa yang dimaksud kitabullah, As-Sunnah dan
ijma, hingga datang Syafi’I yang memaparkannya secara terinci”. Sementara itu, Abu
Tsur, seorang Ahlu fiqh lainnya menyatakan bahwa ia memahami adanya nash yang
umum, tetapi bermakna khusus, dan sebaliknya nash yang khusus, tetapi bermakna
umum, setelah mendapat penjelasan dari Syafi’i. Sebelumnya, kami tidak memahami
adanya nash-nash seperti itu, demikan pengakuannya. Contoh ittihad Syafi’i dalam
firman Allah:
100 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Ayat di atas, menurut Syafi›i, ditujukan kepada Nabi, tetapi maksudnya adalah
semua manusia. Metode seperti ini merupakan metode baru dalam i1mu fiqh dan ushul,
dan umat Islam pada umumnya tidak mengenalnya sebelum datangnya Imam Syafii.
Kedua, fiqh Syafi’i merupakan campuran antara fiqh Ahlu Ar- Ra’yi dengan fiqh Ahlu
Al-Hadis. Kedua metode tersebut memilki cara tersendiri dalam mengambil istinbath.
Ahlu Ar-Ra’yi adalah para cendekiawan yang memiliki pandangan yang luas. Akan
tetapi, kemampuan mereka untuk menerima atsar dan As-Sunnah sangat terbatas.
Sementara itu, Ahlu Al-Hadis sangat gigih mengumpulkan hadis, atsar dan beberapa
hal lainnya yang berkaitan dengan perbuatan para sahabat. Namun, mereka bukan Ahlu
munaqasyah dan istinbath. jadi, Ahlu fiqh hendaknya menggunakan ra’yi dan hadis
sekaligus. Dan Syafi’i adalah. seorang ahlu dalam metode tersebut., Kecerdasannya yang
sangat tinggi menjadikannya seorang yang ahlu dalam ra’yi dan munaqayah. Pada saat
yang sama, ia juga seorang yang ahli dalam ilmu hadis yang mampu membangkitkan
para ahlul hadis lainnya sehingga oleh para uhuna lainnya ia dijuluki “penolong,
As-Sunnah”.
Lebih dari itu, ia tidak sekadar ahli dalam kedua pendekatan tersebut, tetapi
juga mampu untuk menyatukan keduanya dan membangun fiqih di atasnya serta
mencetuskan ilmu ushul fiqih yang merupakan salah satu unsure pokok dalam
madzhabnya. Dalam kaitan ini, fakhru Ar-Razi mengatakan, “keterakaitan ilmu ushul
fiqih adalah sebagaimana keterkaitan Aristoteles dengan ilmu kalam, dan Khlalil Ibn
Ahmad dengan ilmu “Arudh. Mereka yang membaca karya-karyanya akan mendapat
kejelasan tentang kemampuannya dalam menentukan urutan-urutan dalam penetapan
dalil.
Ketiga, dalam pandangan syafi’i, pendekatan Ahlu Al-Hadits lebih jelas dalam
masalah ushul. Oleh karena itu, ia menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber hukum
dan pokok-pokok syariat. Setelah itu, ia merujuk kepada hadis. Jika dalam penggunaan
hadis telah dianggap cukup dalam menetapkan hukum, ia tidak menggunakan ra’yi.
Prinsip yang digunakannya adalah seperti yang diucapkannya, “Apa pun pendapat yang
telah aku kemukakan, bila kemudian ada hadis yang berlawanan dengan pendapatku
itu, pernyataan Rasulullah itulah pendapatku.”
Keempat, fiqh Syafi’i menggunakan ijma’ sebagai dasar ketetapan hukum. Hal
itu karena kenyataan secara syar’i untuk menjadikannya sebagai hujjah yang wajib
diamalkan Lalu, ia membuat rumusan untuk pengaturan Syafi’i menempatkan ijma’
pada urutan tiga setelah Al-Quran dan As-Sunnagh (sekalipun berupa hadis ahad atau
satu sanad).
Kelima, Syafi’i juga mengukuhkan qiyas sebagai dasar madzhab. Dapat dikatakan
bahwa Syafi’i adalah orang pertama yang masalah qiyas secara terinci. Pada waktu
itu para Ahlu belum membuat pembatasan antara ra’yu yang sahih dan rayu yang
tidak sahih. Syafi’i kemudian memaparkan kaidah ra’yu yang dianggapnya sahih dan
Perbandingan Madzhab | 101
Pola Pemikiran
istinbath yang tidak sahih. Ia jelaskan pula perbedaan besar antara bermacam-macam
istinbath dan qiyas, menurut kadar yang ditentukannya dalam kaidah itu.
Keenam, Syafi’i menolak penggunaan kaidah istihsan, sebagaimana dinyatakan dalam
kitabnya, ibthalul istihsan, metode ini adalah metode yang biasa digunakan Abu Hanifah.
Menurut syafi’I dalam penerapan metode ini, seorang Ahlu Fiqh setelah merujuk
kepada Al-Quran, As-Sunnah, Ijma, Qiyas, ia menetapkan hukum yang dipandangnya
baik, bukan hanya berpegang pada dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Lebih lanjut, Imam
Syafi’I menyatakan, “Bila Ijtihad digunakan dengan metode istihsan, tanpa sepenuhnya
bersandar pada pokok syariat atau nash dan As-Sunah, ijtihad tersebut batil. Dengan
demikian seluruh hasil ijtihad yang menggunakan metode ini batil pula hukumnya.”
Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas dan ijma tidak dipandang
sebagai prinsip yang statis, tetapi sebagai suatu proses asimilasi, interpretasi, dan
adaptasi yang dinamis dan wajar. Hal ini terlihat dengan jelas dalam bagian lain dari
tulisan Syafi’i yang walaupun agak berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif
mengenai masalah tersebut dengan mengungkapkan sikap yang sebenimya dan yang
serba meliputi ijma.
Oleh karena itu, metode dan paradigma pemikiran Syafi’i selalu terlihat dalam
pemikiran-pemikiran yang dibangun ulama sebelumnya. Penalaran analogis
(qiyas) Imam Syafi’i, juga menawarkan pemahaman baru. Apa yang dirumuskan
ulama-ulama sebelumnya disebut oleh Syafi’i qiyas bil furu, penalaran analogis terhadap
masalah-masalah partikular dengan berpijak pada suatu prinsip tertentu terkandung
dalam suatu preseden. Sebuah kasus dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau
disamakan dengan preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang
disebut illat. Adapun metode-metode yang lain, seperti istihsan, istishab, sad dzara’i dan
metode lainnya dimasukkan ke dalam qiyas bil qawaid (penalaran analogis) terhadap
prinsip umum yang terkandung dalam suatu preseden itu sendiri.`
Karena nuansa pemikirannya yang sangat luas itu, beberapa metode Syafi”i menjadi
sebuah “jalan tengah” dan karena itu, ia dijuluki imam yang moderat. Hal itu ia
lakukan demi tegaknya suatu hukum dengan penuh objektivitas dan ilmiah. Tak jarang
ia lakukan beberapa observasi atau penelitian tentang suatu kasus.
Analisis objektif diberikan oleh orientalis, seperti Joseph Schacht terhadap pola pikir
Imam Asy-Syafii. Menutut Schacht, sistematika dan Islamisasi logika formal dalam
Islam telah sampai pada puncaknya oleh Imam Asy-Syafi’i.” Pada prinsipnya, Syafii
hanya mengakui cara berpikir analogis dan sistematis yang terbatas (qiyas, Ijtihad, juga
‘akl ataupun ma’kul, pokoknya, apa yang dapat dikatakan rajionable secara ‘ sempit).
Dia tidak menerima pendapat- pendapat arbitret dan ketetapan-ketetapan yang bebas
(ra’y) dan istihsan yang dipakai (Syafi’i sebagai sinonim), hal semacam tetsebut menjadi
kebiasaan bagi pendahulu-pendahulunya. Ini merupakan pembaharuan penting
dengan pembaruan teori hukum Syafi’i sangat berbeda dengan teori aliran hukum
102 | Perbandingan Madzhab
Modul III
lama. Pandangan Schacht secara keseluruhan kepada Imam Asy-Syafi’i penulis kutip
sebagai berikut:
Syafii berkeyakinan penuh bahwa Al-Quran tidak akan berlawanan dengan
hadis-hadis dari Nabi dan hadis-hadis itu merupakin penjelasan Al-Quran. Oleh
karena itu, Al Quran haruslah diinterpretasikan dengan menggunakan keterangan
hadis, bukan sebaliknya. Bagi Syafi’i, As- Sunnah tidak lagi merupakan praktik ideal
sebagaimana yang diakui oleh ulama-ulama representatif, As-Sunnah identik dengan
isi hadis formal dari Nabi walaupun hadis semacam itu diriwayatkan oleh hanya satu
orang dalam satu generasi. Menurut Syafi’i dan juga aliran-aliran lama, hanya para
sahabat Nabi yang sangat mengetahui apa yang dimaksud oleh Nabi sendiri. Pendapat
dan praktik-praktik yang berdasarkan pendapat pribadi, yakni pendapat yang tidak
bersurnberpada para sahabat Nabi tidak mempunyai otoritas sama sekali. Konsep baru
As-Sunnah ini tercermin dalam hadis resmi Nabi mengungguli konsep hadis yang
berkembang di kalangan ahran hadis lama. Hadis-hadis Nabi dari Nabi dapat ditolak
otoritasnya dengan referensi Al-Quran.... kesimpulannya.... secara keseluruhan teori
hukum Syafi’i merupakan suatu hasil karya sistematis yang sempurna yang jauh lebih
unggul daripada teori aliran lama, dan dia menjadi pendiri ilmu ushul_fiqh, satu disiplin
ilmu yang membahas dasar-dasar teoretis hukum Islam. Ini adalah prestasi dari satu
pikiran yang perkasa dan sekaligus merupakan suatu hasil logis dari suatu proses yang
telah dimulai pada masa-masa awal perkembangan hukum- hukum Islam.
Sistematika Hukum Imam Syafi’i, secara substansial tidak berubah, tetapi secara
realitasnya, ijtihadnya mengalami dinamika seperti adanya qaul qadim dan qaul jadid.
Sekadar ilustrasi, berikut ini disajikan beberapa qaul qadim dan qaul jadid hasil penelitian
Jaih Mubarok, pada hakman berikut.
D. MADZHAB HANBALI: IMAM HANBALI
Thaha jabir, dalam kitabnya Adab Al-lkhtilaf dan Abu Zahrah, dalam kitabnya Tarikh
Madzhabib al-Fiqhyah, menjelaskan bahwa cara ijtihad Imam Ahmad Ibn Hanbal sangat
dekat dengan cara ijtihad Asy-Syafi’i. Ibn Qayyim Al-jauziyyah menjelaskan bahwa
pendapat-pendapat Ahmad Ibn Hanbal dibangun atas lima dasar, yaitu:
1. An-nushnush dari Al-Quran dan As-Sunnah. Apabila telah terdapat ketentuannya
dalam nash tersebut, ia berfatwa dan tidak mengambil yang lainnya; karena itu nash
didahulukan atas fatwa sahabat;
2. Ahmad Ibn Hanbal berfatwa dengan fatwa sahabat, ia memilih pendapat sahabat
ying tidak menyalahinya (ikhtilaf) (sudah sepakat);
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad Ibn Hanbal memilih salah satu
pendapat mereka yang lebih dekat kepada Al-Quran dan As-Sunnah;
4. Ahmad Ibn Hanbal menggunakan hadis mursal dan dhaif apabila tidak ada atsar, qaul
sahabat, atau ijma yang menyalahinya;
Perbandingan Madzhab | 103
Pola Pemikiran
5. Apabila tidak ada dalam nash, As-Sunnah, qaul sahabat, riwayat masyhur, hadis
mursal dan dhaif, Ahmad Ibn Hanbal menganalogikan (menggunakan qiyas) dan
qiyas baginya adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa.
Dengan demikian, sistematika sumber hukum dan istidlal Madzhab Hanbali [Imam
Ahmad], sebagaimana diringkas oleh, Salim Ali Ats-Tsaqafi, terdiri dari:
1. nushus [AI-Quran, As-Sunnah dan nash ijmal]
2. fatwa-fatwa sahabat;
3. hadis-hadis mursal dan dhaif,
4. qiyas;
5. istihsan;
6. sadd adz-dzirai;
7. istishab; dan
8. al-mashlahat al-mursalat.
Melihat dasar-dasar Imam Hanbali, tampak bahwa penggunaan rasio dipersepit
sampai batas tertentu. Bahkan, dalam analisis Mun’im A. Sirry, dalam banyak hal,
pemikiran Imam Hanbali dirujukkan pada fatwa-fatwa sahabat tanpa membedakan
apakah fatwa itu berdasarkan As-Sunnah, atsar atau ijdhad. Meskipun fatwa itu
merupakan rujukan kedua setelah As-Sunnah. Berbeda dengan Asy-Syafi’i bila terjadi
taarud antara hadis dan fatwa sahabat, mengambil hadis. Apalagi Imam Hanafi tidak
mengagunakan fatwa abat, kecuali setelah diketahui melalui qiyas.
Predikat sebagai imam tradisional tampaknya “tepat” bagi Imam Ahmad di
samping faktor multialiran dan pemahaman pada saat yang memengaruhi pemikiran
tradisionalisnya.
Predikat imam tradisionalis kepada Imam Ahmad tampaknya tidak kaku dan mati.
Sebab, dalam. beberapa hal, Imam Hanbali menggunakan mashlahat mursalahat.
Sebagaimana dikatakan, oleh Abu Zahrah, bahwa, “Imam Hanbal. menggunakan
mashlahat mursalah sebagai bagian dari qiyas. Karena mashlahat mursalah adalah
qiyas terhadap kemashlahatan umum yang memberikan manfaat yang didasarkan
kepada sekumpulan nash Al-Quran dan nubuwah sebagaimana Imam Maliki
menggunakannya”.
Beberapa contoh fiqh Imam Ahmad, sebagai berikut:
Dalam bidang pemerintahan, sebagaimana dikatakan oleh Abu Zahtah, “Pemikiran
Ahmad Ibn Hanbal tentang kepemimpinan mengikuti manhaj salaf [dari kalangan
Quraisy], sedangkan ketaatan kepada khalifah adalah mutlak meskipun khalifah
termasuk fajir Ahmad Ibn Hanbal berpendapat sebagai berikut:
Artinya:
Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mukminin (adalah wajib), baik ia seorang
yang baik mampun yang fajir”
104 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Selanjutnya, Ahmad Ibn Hanbal berpendapat bahwa umat Islam wajib taat kepada
imam dan amirul mukminin, apabila seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak
taat kepada pemimpin, ia termasuk yang mati sebagai jahiliah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar