Senin, 23 Juni 2014

Wara', rajih dan marjih

WARA’

Wara’ mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yang syubhat & meninggalkan yang haram. Lawan dari wara' adalah syubhat yang berarti tidak jelas apakah hal tsb halal atau haram.
"Sesungguhnya yang halal itu jelas & yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama & kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram" (HR Bukhari & Muslim) 
Contoh: Seseorang meninggalkan kebiasaan mendengarkan & memainkan musik karena dia tahu bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yang mengatakan halal & ada yang mengatakan haram.

Apa sebenarnya pengertian dari wara'?

Wara’menurut kebahasaan mengandung arti menjauhi dosa, lemah, lunak hati, dan penakut. Para sufi memberikan definisi yang beragam tentang wara’ berdasarkan pengalaman dan pemahaman masing-masing. Ibrahim ibn Adham (w 160 H/777) mengatakan bahwa wara’ adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang meragukan) dan meninggalkan sesuau yang tidak berguna. Pengertian serupa juga dikemukakan Yunus ibn Ubayd, hanya saja ia menambahkan dengan adanya muhasabah (koreksi terhadap diri sendiri setiap waktu).
Imam al-Bukhari mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara':
"Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu." Ibn al-Qayyim al-Jawziyah menarik kesimpulan bahwa wara’ adalah membersihkan kotoran hati, sebagaimana air membersihkan kotoran dan najis pakaian.
Karena sikap wara' terkait dengan kebersihan hati, para pengamal Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah YPDKY hanya mengkonsumsi makanan yang jelas sumber dan kehalalannya dalam kegiatan i'tikaf. Makanan diolah dalam keadaan wudhu dengan senantiasa mengingat Allah. Bahkan makanan berupa daging yang dikonsumsi dalam i’tikaf berasal dari sapi atau kambing yang disembelih sendiri oleh panitia i'tikaf. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar hewan disembelih sesuai syariat Islam sehingga terjamin kehalalannya.
3. RAJIH [الراجح]

Makna rajih adalah 'yang terkuat', seperti ungkapan para ahli Ushul Fiqh:

الأصل في الكلام حقيقة
"Yang terkuat dari [kandungan] suatu ungkapan adalah arti hakikatnya"

Maksudnya: Kalam atau ungkapan memiliki dua macam, hakikat dan majaz/majas. Dalam memahami suatu kalam, ungkapan hakikat lebih kuat dan diutamakan dibanding majas.

Contoh: "Ada SINGA bersembunyi di kampung ini"

Kata 'Singa' di atas bisa diartikan secara hakikat [makna asli, yakni hewan bernama singa] dan secara majaz [makna tidak aslinya, yakni seorang pemberani]. Karena arti/makna hakikat lebih kuat daripada makna majaz, maka kita fahami bahwa 'ada seekor singa bersembunyi di kampung ini'

4. MUSTASHAB [المستصحب]

Maksud dari 'Mustashab' adalah "perihal memberlalukan hukum yang ada sejak semula [dari masa lampau] selama tidak ada dalil yang mengubahnya".

Contoh:
Anda telah berwudhu satu jam lalu, tapi kini Anda meragukan apakah Anda masih dalam keadaan suci atau sudah batal. Namun sejatinya Anda yakin bahwa selama satu jam terakhir [semenjak wudhu], Anda belum melakukan suatu hal pun yang membatalkan wudhu. Atas dasar keyakinan ini, Anda tetap dianggap dalam keadaan bersuci.

Sama dengan:
"Memberlakukan hukum kesucian Anda yang ada sejak sejam lalu selama tidak ada bukti atau ingatan yang membatalkan kesucian Anda." --> Mustashab



---------------------------------------------------------------------------------------------------
Pertanyaan: "Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kalimat RAJIH?"


Jawaban:

Beberapa ulama berbeda ungkapan dalam memberikan definisi Rajih itu sendiri. Definisi ulama madzhab Hanafiyyah tidak sama dengan milik Syafi'iyyah. Ulama Syafi'iyyah mencantumkan dalam definisi Tarjiih, bahwa perkataan Rajih [yang terkuat] 'mewajibkan beramal dengannya, dan tidak layak beramal dengan perkataan Marjuuh [yang lemah]'. Dan ulama Hanafiyyah tidak mencantumkan kewajiban tersebut.

Definisi madzhab Syafi'iyyah:

اقْتِرَانُ أَحَدِ الصَّالِحَيْنِ لِلدَّلاَلَةِ عَلَى الْمَطْلُوبِ مَعَ تَعَارُضِهِمَا بِمَا يُوجِبُ الْعَمَل بِهِ وَإِهْمَال الآْخَرِ

"Menguatkan salah satu dari dalil yang tampaknya [secara zahir/lahir] bertentangan dengan yang lain, sehingga dapat diketahui mana yang lebih kuat, kemudian wajib diamalkan dan yang lainnya [yang lemah] ditinggalkan."

Kata yadun arti yang kuat (rajih) adalah tangan. Sedangkan makna yang dikuatkan (marjuh) adalah kekuasaan. Ketika memahami ayat ini, umumnya mufassir menggunakan takwil. Yakni mengalihkan makna rajih (tangan) kepada makna marjuh (kekuasaan) karena ada alasan (dalil) yaitu ketidakmungkinan Allah memiliki tangan dalam arti inderawi .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar