KEPEDULIAN SOSIAL
A. Pengertian
Kepedulian Sosial
Kepedulian
sosial yaitu sebuah sikap keterhubungan dengan kemanusiaan pada umumnya, sebuah
empati bagi setiap anggota komunitas manusia. Kepedulian sosial adalah kondisi
alamiah spesies manusia dan perangkat yang mengikat masyarakat secara
bersama-sama (Adler, 1927). Oleh karena itu, kepedulian sosial adalah minat
atau ketertarikan kita untuk membantu orang lain.
Lingkungan
terdekat kita yang berpengaruh besar dalam menentukan tingkat kepedulian sosial
kita. Lingkungan yang dimaksud di sini adalah keluarga, teman-teman, dan
lingkungan masyarakat tempat kita tumbuh. Karena merekalah kita mendapat
nilai-nilai tentang kepedulian sosial. Nilai-nilai yang tertanam itulah yang
nanti akan menjadi suara hati kita untuk selalu membantu dan menjaga sesama.
Kepedulian sosial yang di maksud bukanlah untuk mencampuri urusan orang lain,
tetapi lebih pada membantu menyelesaikan permasalahan yang di hadapi orang lain
dengan tujuan kebaikan dan perdamaian.
Kepedulian sosial
adalah perasaan bertanggung jawab atas kesulitan yang dihadapi oleh orang lain
di mana seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu untuk mengatasinya. “Kepedulian Sosial” dalam kehidupan bermasyarakat
lebih kental diartikan sebagai perilaku baik seseorang terhadap orang lain di
sekitarnya. Kepedulian sosial dimulai dari
kemauan “MEMBERI” bukan “MENERIMA” Bagaimana ajaran Nabi Muhammad untuk mengasihi yang KECIL dan
Menghormati yang BESAR; orang-orang kelompok ‘besar’ hendaknya mengasihi dan
menyayangi orang-orang kelompok ‘kecil’, sebaliknya orang ‘kecil’ agar mampu
memposisikan diri, menghormati, dan memberikan hak kelompok ‘besar’.
B. Jenis-jenis
Kepedulian Sosial
Kepedulian
sosial dibagi menjadi 3, yaitu:
- Kepedulian
yang berlangsung saat suka maupun duka
Kepedulian
sosial merupakan keterlibatan pihak yang satu kepada pihak yang lain dalam
turut merasakan apa yang sedang dirasakan atau dialami oleh orang lain.
- Kepedulian
pribadi dan bersama
Kepedulian
bersifat pribadi, namun ada kalanya kepedulian itu dilakukan bersama. Cara ini
penting apabila bantuan yang dibutuhkan cukup besar atau berlangsung secara
berkelanjutan.
- Kepedulian
yang sering lebih mendesak
Kepedulian
akan kepentingan bersama merupakan hal yang sering mendesak untuk kita lakukan.
Caranya dengan melakukan sesuatu atau justru menahan diri untuk tidak melakukan
sesuatu demi kepentingan bersama.
C. Sumber
Kepedulian Sosial
Sumber
kepedulian sosial berasal dari dua sumber, yakni :
1)
Bersumber dari cinta
Kepedulian sosial
muncul dari kepekaan hati untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah empati, yang dapat
diartikan sebagai kesanggupan untuk memahami dan merasakan perasaan-perasaan
orang lain seolah-olah itu perasaan diri sendiri.
2)
Tidak karena macam-macam alasan
Kepedulian
sosial yang kita kembangkan adalah kepedulian yang timbul dari hati yang
terbuka mau berbagi untuk sesamanya tanpa didorong atau disertai alasan-alasan
tanpa meminta imbalan apapun.
D. Hambatan
dalam mewujudkan kepedulian sosial
Ada beberapa
hal yang merupakan hambatan kepedulian sosial, diantaranya adalah sebagai
berikut :
- Egoisme
Egoisme
merupakan doktrin bahwa semua tindakan seseorang terarah atau harus terarah
pada diri sendiri.
- Materialistis
Merupakan
sikap perilaku manusia yang sangat mengutamakan materi sebagai sarana pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Demi mewujudkan itu mereka umumnya tidak terlalu
mementingkan cara untuk mendapatkannya.
E. Cara
pembentukan sikap dan perilaku kepedulian sosial
- Mengamati
dan Meniru perilaku peduli sosial orang-orang yang diidolakan.
- Melalui
proses pemerolehan Informasi Verbal tentang kondisi dan keadaan sosial
orang yang lemah sehingga dapat diperoleh pemahaman dan pengetahuan
tentang apa yang menimpa dan dirasakan oleh mereka dan bagaimana ia harus
bersikap dan berperilaku peduli kepada orang lemah.
- Melalui
penerimaan Penguat/Reinforcement berupa konsekuensi logis yang akan
diterima seseorang setelah melakukan kepedulian sosial.
Tanggapan
terhadap topik di atas
Pada
hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri. Oleh
karna itu lumrah jika manusia memiliki kepedulian sosial terhadap sesama.
Tetapi dengan semakin pesatnya teknologi-teknologi modern saat ini yang bisa
menghubungkan individu dengan individu lain tanpa batasan ruang dan waktu,
seperti facebook, twitter, dll. Membuat sebagian individu memiliki sifat
individualistis yang dominan dikarnakan dampak dari perkembangan jaman dan
teknologi ini, sehingga berpengaruhi terhadap kepedulian sosial individu saat
ini. Oleh karna itu, topic diatas sangat penting untuk kita pahami dan
pelajari, agar kepedulian sosial yang ada di kultur budaya kita bisa tumbuh
kembali.
Implementasi
terhadap diri sendiri
Setelah
membaca topic diatas. Saya akan mencoba untuk sedikit demi sedikit menumbuhkan
rasa kepedulian sosial. Sehingga saya bisa menjadi individu yang peka terhadap
masalah – masalah sosial yang terjadi dalam hidup ini. Agar saya bisa merasakan
apa yang orang lain rasakan, seperti membantu teman/orang lain yang sedang
kesusahan dan bisa memberi solusi terbaik dalam memecahkan suatu masalah.
salah satu contohnya adalah membantu teman
saya ketika mengalami suatu masalah,mencoba meringankan beban teman saya
semampu saya, semisal : sewaktu teman saya menceritakan suatu permasalahannya,
saya sebagai teman berusaha menjadi pendengar yang baik dan berusaha memberikan
jalan keluar yang baik
Sudah selayaknya kita harus menumbuhkan rasakepedulian
social agar bisa menjadi individu yang peka terhadap masalah-masalah socialyang
sedang terjadi. Kita tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap
permasalahansocial yang terjadi di lingkungan kita. Berbagai cara dapat
dilakukan misalnya denganikut menjadi panitia dalam acara seperti amal dan
bakti social. Dengan begitu kita bisamenumbuhkan rasa kepedulian terhadap
sesama dan juga kepekaan kita.
Implementasi
Terhadap Masyarakat
Setelah
berusaha mengimplementasikan kepedulian sosial terhadap diri saya sendiri.
Sekarang waktunya bagi saya untuk menerapkan sifat kepedulian sosial dalam
bermasyarakat. Karna manusia adalah makhluk sosial, sehingga tidak bisa
dipungkiri bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Seperti kita bergabung dalam
suatu organisasi. Kita harus bisa membuang sifat egois dan materialistis,
sehingga kita bisa melakukan semua kegiatan dalam organisasi tersebut dengan
baik, seperti berperilaku adil dalam mengambil keputusan, membantu anggota lain
yang lagi kesulitan dan lain sebagainnya.
salah satu contoh penerapan kepedulian sosial dalam
masyarakat adalah seorang pejabat yang sedang terburu waktu untuk menghadiri
suatu rapat tetapi rela turun dari mobilnya untuk membantu seorang tukang sayur
ketika melihat dagangan tukang sayur berceceran dijalan setelah terserempet
kendaraan lain. Dari contoh tersebut terlihat kepeduliannya terhadap sesama,
tidak mementingkan kepentingan pribadinya tanpa melihat status sosial.
Penerapan dalam masyarakat dapat di implementasikan dengan
lingkungan sekitar kitakarena masih banyak orang yang kurang peduli pada sesama
yang tidak menghiraukanorang yang membutuhkan bantuan dan mereka hanya tak acuh
pada sesama mereka.Seharusnya kita lebih peduli agar tidak ada orang yang
kesusahan lagi. Implementasi peduli terhadap sesama bisa dilakukan dari
hal-hal kecil yang kelihatannya sepele, seperti berbagi kebahagiaan dengan
orang sekitar, rutin bersedekah,
Pranata dan Proses Pembentukan Kepedulian Sosial dalam
Islam
•Tebar Salam
(afsussalam); membuka pintu informasi dan substansinya menciptakan kedamaian
dan kesejahteraan sosial.
•Silaturrahmi;
memungkinkan tersambungnya keberlanjutan interaksi yang terputus, lebih mampu
memaafkan dan memahami orang lain, verifikasi dan update informasi sehingga
semakin peduli.
•Shalat berjamaah; mengkondisikan terjadinya interaksi
sosial secara rutin.
•Merawat
jenazah; interaksi langsung kepada si ‘kecil’ (mayat yang sudah tidak punya
daya apapun)
•Puasa
•Zakat dan Shadaqah
ASAH KEPEDULIAN SOSIAL
Kepedulian
sosial adalah minat atau ketertarikan kita untuk membantu orang lain. Lingkungan
terdekat kita yang berpengaruh besar dalam menentukan tingkat kepedulian sosial
kita.
Lingkungan
yang aku maksud di sini adalah keluarga, teman-teman kita, dan lingkungan
tempat kita tumbuh besar. Karena merekalah kita mendapat nilai-nilai tentang
kepedulian sosial. Nilai-nilai yang tertanam itulah yang nanti akan menjadi
suara hati kita untuk selalu membantu dan menjaga sesama.
Tapi,
menurutku, lingkungan yang sangat berpengaruh adalah keluarga, karena di
sanalah kita besar dan orang-orang yang paling sering kita temui selama hidup.
Dan waktu
kecil keluarga jugalah yang sering melarang kita, nantinya akan jadi nilai
kepedulian sosial itu. Larangan-larangan seperti “Jangan buang sampah
sembarangan! Jangan suka bertengkar!” itu adalah nilai yang akan tertanam di
diri kita tentang arti kepedulian sosial.
Ada juga
orang-orang yang nilai kepedulian sosialnya kurang terasah. Itu bisa terjadi
karena lingkungan terdekatnya kurang menanamkan hal itu. Misalnya, orang itu
dari kecil terbiasa melihat Ayahnya buang sampah sembarangan, jadi dia berfikir
“buang sampah sembarangan itu tidaklah salah”.
Oleh karena
itu kita jangan sembarangan bertindak di hadapan anak kecil, karena mereka akan
menyerap semua tindakan yang telihat oleh mereka yang nantinya mereka akan
berfikir kalau bertindak seperti yang dicontohkan adalah baik padahal belum
tentu yang memberi contoh sudah melakukan tindakan yang benar.
Agar kita
tidak menjadi orang yang mati rasa dengan kepedulian sosia, kita harus rajin
mengasah kepedulian sosial kita. Caranya bisa dengan rajin mengikuti acara
bakti sosial.
Satu yang
harus dicatat adalah definisi kasihan. Terkadang kita sering kali mengatakan
bahwa kasihan itu adalah salah bentuk dari kepedulian sosial.
Menurutku,
pemikiran itu adalah salah karena kepedulian sosial itu bukan hanya sebatas
pemikiran atau perasaan, kepedulian sosial itu adalah sebuah tindakan.
Jadi apabila
kita melihat orang-orang korban bencana di televisi dan kita hanya bisa
kasihan, itu adalah percuma karena papabila kita peduli maka kita harus
bertindak.
Karena
sesungguhnya peduli itu tidak hanya tahu tenang sesuatu yang salah atau benar,
tapi ada kemauan melakukan gerakan sekecil apapun.
KANDUNGAN
SURAH AL-KAUTSAR
Ayat pertama:
Apa itu
Al-Kautsar? Ternyata, ada 2 penafsiran di kalangan para
ulama ahli tafsir tentang makna Al-Kautsar.
1). Al-Kautsar
adalah sebuah sungai yang berada di Al-Jannah (surga) yang
Allah SWT persiapkan untuk Rasulullah SAW. Al-Imam Ibnu Katsir
menyebutkan sebuah riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata, “Suatu hari Rasulullah SAW sempat terkantuk hingga
tertidur. Tiba-tiba Rasulullah SAW mengangkat kepalanya sambil
tersenyum, kemudian para sahabat bertanya kepada beliau, ‘Kenapa engkau
tersenyum wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya baru saja turun
kepadaku sebuah surat.” Kemudian beliau membaca ayat pertama dari surat
Al-Kautsar hingga ayat terakhir.
”Tahukah
kalian apa itu Al-Kautsar?, para sahabat menjawab “Allah dan Rasul-Nya saja-lah
yang lebih tahu”. Maka Rasulullah menjawab, “Dia adalah sebuah sungai yang
berada di Al-Jannah (surga) yang Allah SWT berikan kepadaku dan padanya
terdapat kebaikan yang banyak.” (HR. Al-Imam Ahmad 3/102).
2). Al-Kautsar
berarti kebaikan yang sangat banyak. Sehingga Al-Kautsar tidak hanya sebatas
sebuah sungai yang ada di Al-Jannah (surga), karena kebaikan yang Allah
SWT berikan kepada Rasulullah SAW sangat banyak, sebagaimana
disebutkan dalam beberapa surat di Al-Qur`an. Di antaranya ialah dengan
dipilihnya Rasulullah SAW sebagai seorang nabi dan rasul, bahkan yang
terbaik di antara para nabi dan rasul. Juga dengan diturunkannya Al-Qur`an
kepada beliau, satu-satunya dari kalangan nabi dan rasul yang diberi izin oleh
Allah SWT untuk memberikan syafaat ‘uzhma di padang mahsyar,
orang pertama yang Allah beri izin untuk membuka pintu Al-Jannah (surga),
diampuninya dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang, dan masih banyak
kebaikan yang lainnya yang tidak terhitung. Sehingga itu semua yang dimaksud
dengan Al-Kautsar.
Makna
yang kedua ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dari
sahabat Abdullah bin Abbasradhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata
tentang makna Al-Kautsar, “Dia (Al-Kautsar) adalah kebaikan-kebaikan yang telah
Allah SWT berikan kepada beliau (Rasulullah SAW)” (Shahih al-Bukhari no.
4966).
Pendapat
yang kedua ini dikuatkan oleh al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dan
beliau tegaskan dalam kitab tafsirnya, ”Tafsir ini (tafsir Ibnu Abbas tentang
Al-Kautsar) meliputi banyak hal bahkan termasuk sungai yang berada di Al-Jannah
(surga) dan yang lainnya, dikarenakan Al-Kautsar itu sebuah kata yang berasal
dari kata al-katsrah (sesuatu yang banyak kuantitasnya) sehingga makna
Al-Kautsar adalah kebaikan-kebaikan yang banyak. (Tafsir Ibnu Katsir) Wallahu
a’lam.
Ayat kedua:
Ada dua
ibadah yang diperintahkan dalam ayat ke 2 ini, yaitu ibadah shalat dan
kurban. Maka shalatlah untuk Rabb-mu satu-satunya, ikhlaskan niat,
bersungguh-sungguhlah dalam melaksanakannya dan sembelihlah hewan kurbanmu,
baik berupa onta, sapi ataupun kambing, semuanya harus diserahkan dan
dipersembahkan hanya untuk Allah SWT satu-satunya. Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy rahimahullah berkata,
“Disebutkan secara khusus dua ibadah dalam ayat ini, dikarenakan keduanya
(shalat dan kurban) merupakan ibadah yang paling utama dan paling mulia untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam shalat terkandung ketundukan
hati dan perbuatan untuk Allah SWT, dan dalam ibadah kurban merupakan bentuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan sesuatu yang terbaik dari apa
yang dimiliki oleh seorang hamba berupa hewan kurban. (Tafsir as-Sa’diy hal.
936).
Dalam
ayat kedua ini terdapat dalil penting yang terkait dengan hukum dan tata cara
dalam ibadah kurban bahwa proses pelaksanaan ibadah kurban itu dilakukan
setelah shalat Idul Adha, bukan sebelum shalat. Kesimpulan ini dilihat dari
ayat yang kedua :
“Maka
dirikanlah shalat karena Rabb-mu; dan berkurbanlah,” disebut shalat
terlebih dahulu baru kemudian menyembelih hewan kurban. Karena jika ibadah
kurban itu dilakukan sebelum shalat maka posisi dia bukan sebagai hewan kurban,
dagingnya bukan daging kurban akan tetapi terhitung sebagai daging sedekah
biasa. Hal ini pernah terjadi di masa Rasulullah SAW saat salah seorang
sahabat yakni Abu Burdah radhiyallahu ‘anhu menyembelih hewan
kurbannya sebelum shalat Idul Adha, Rasulullah SAW bersabda, ”Kambingmu
adalah kambing untuk (diambil) dagingnya saja.” (HR. al-Bukhari no.5556 dari
al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu). Dalam lafazh lain (no.5560)
disebutkan, “Barangsiapa yang menyembelih (sebelum shalat Idul Adha), maka itu
hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, bukan termasuk hewan
qurban sedikit pun.”
Rasulullah
SAW juga bersabda dalam khotbah Idul Adha, “Barangsiapa mengerjakan shalat
seperti shalat kami dan menyembelih hewan kurban seperti kami, maka telah benar
kurbannya. Dan barangsiapa menyembelih sebelum shalat (Idul Adha) maka
hendaklah dia menggantinya dengan yang lain.” (HR. al-Bukhari no. 5563 dan
Muslim no. 1553).
Ayat Ketiga:
“Sesungguhnya
orang yang membencimu dialah orang yang terputus.”
Ada 2
penafsiran tentang makna dari إِنَّ شَانِئَكَ :
Diriwayatkan
dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa
makna dari ayat diatas adalah
1.
“Sesungguhnya musuhmu.”
2.
“Sesungguhnya orang yang membencimu. (Rasulullah SAW)”
(Tafsir
ath-Thabari hal. 602)
Adapun
makna الْأَبْتَرُ ialah orang yang terputus tidak
memiliki keturunan/tidak memiliki generasi penerus atau bisa diartikan tidak
adanya kelanjutan dari sisi nasab
Disebutkan
oleh al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah bahwa salah seorang
ahlul kitab yang bernama Ka’ab bin al-Asyraf ketika datang ke kota Mekah dan
bertemu dengan kaum Quraisy, lalu mereka mengatakan kepada Ka’ab bin al-Asyraf,
“Bagaimana menurutmu wahai Ka’ab tentang orang yang tidak memiliki keturunan
lagi, memutus hubungan dengan kaumnya (yaitu Muhammad) dan menganggap dirinya
lebih baik dari kami, padahal kami adalah kaum yang senantiasa berhaji,
berkhidmat menjaga Ka’bah dan melayani serta memberi minum kepada jamaah haji?
Kemudian Ka’ab bin al-Asyraf menyatakan, “Kalian lebih mulia dibandingkan dia
(Rasulullah SAW).” Setelah pernyataan tersebut turunlah ayat:
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
artinya,
“Sesungguhnya orang yang membencimu dia lah orang yang terputus.” (Lihat Tafsir
Ibnu Katsir 2/295). Terputus dalam artian terputus dari setiap kebaikan,
amalan, sanjungan. Adapun Rasulullah SAW menjadi manusia yang paling
sempurna dan memiliki kedudukan di sisi seluruh makhluk, berupa tingginya
pujian kepadanya, banyaknya pembela dan pengikutnya. (Tafsir as-Sa’di hal.
936)
Ibnul Jauzi merinci ada enam
pendapat mengenai makna Al Kautsar:
1.
Al Kautsar
adalah sungai di surga.
2. Al Kautsar adalah kebaikan yang
banyak yang diberikan pada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas.
3.
Al Kautsar
adalah ilmu dan Al Qur’an. Demikian pendapat Al Hasan Al Bashri.
4.
Al Kautsar
adalah nubuwwah (kenabian), sebagaimana pendapat ‘Ikrimah.
5. Al Kautsar adalah telaga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak manusia
mendatanginya. Demikian kata ‘Atho’.
6.
Al Kautsar
adalah begitu banyak pengikut dan umat. Demikian kata Abu Bakr bin ‘Iyasy.
(Lihat Zaadul Masiir, 9: 247-249)
TAFSIR
SURAT AL KAUTSAR[1]
Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, ia adalah yang terputus (dari rahmat Allah). [Al Kautsar : 1-3]
Surat Al Kautsar merupakan surat yang terpendek dalam Al Qur`an. Isinya mengandung ungkapan-ungkapan yang indah lagi mengagumkan, membuat yang membacanya berdecak kagum. Makna-makna kalimatnya yang kuat dan istimewa menunjukkan menjadi bagian mukjizat Ilahi. [2]
Betapa agung surat ini dan betapa melimpah pelajaran-pelajaran yang bisa dipetik dalam bentuknya yang ringkas.
Sebenarnya, makna surat ini dapat diketahui melalui ayat penutupnya. Allah telah menghalangi kebaikan dari orang-orang yang membenci RasulNya. Ia terhalangi untuk mengingatNya, hartanya dan keluarganya, sehingga pada gilirannya, di akhirat ia akan merugi akibat dari semua perbuatan yang tidak terpuji terseut. Kehidupannya pun tanpa nilai, tidak mendatangkan manfaat. Ia tidak membekali diri dengan amalan shalih saat hidup di dunia, sebagai bekal di hari akhiratnya. Hatinya akan terhalangi dari kebaikan, sehingga dia tidak mengenali kebaikan, apalagi mencintainya. Begitu juga ia terhalang dari beriman kepada RasulNya. Amalan-amalannya akan terhalangi dari ketaatan. Tidak ada satupun yang menjadi penolong baginya. Dia tidak akan memberikan apresiasi terhadap ajaran Rasulullah, bahkan ia menolaknya untuk memuaskan hawa nafsunya atau pengikutnya, gurunya, pemimpinnya dan lain-lain.
Oleh karena itu, berhati-hatilah, jangan membenci sesuatu yang datang dari Rasulullah atau menolaknya untuk memuaskan hawa nafsumu, atau membela mazhabmu, atau disibukkan dengan syahwat-syahwat atau urusan dunia. Sesungguhnya Allah l tidak mewajibkan untuk taat kepada seseorang, kecuali taat kepada RasulNya, dan mengambil apa-apa yang datang darinya. Jika seluruh makhluk menyelisihi seorang hamba sementara ia taat kepada Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak akan menanyainya tentang itu. Maka barangsiapa yang taat atau ditaati, sesungguhnya hal itu terjadi hanya dengan mengikuti Rasul. Seandainya diperintahkan dengan sesuatu yang menyelisihi Rasul, maka tidak perlu ditaati. Pahamilah hal itu, dan dengarkanlah. Taatilah dan ikutilah, jangan berbuat bid`ah, niscaya amalanmu tidak akan terputus dan tertolak. Tidak ada kebaikan bagi amalan yang jauh dari Sunnah Rasul, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang mengamalkannya. Wallahu a'lam.[3]
ا نا اءطينك ا اكؤ شر
Ayat ini menunjukkan keluasan karunia tanpa batas, dan kenikmatan yang besar lagi melimpah. Seperti firman-Nya
وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى
Dan kelak pasti Rabb-mu memberikan karuniaNya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. [Adh Dhuha : 5]
Karunia yang besar ini berasal dari Dzat Pemberi karunia Yang Besar, kaya, lagi luas anugerahnya. Oleh karena itu, kata ganti pertama (mutakallim) dalam ayat ini, bentuknya dijama`kan, menjadi innaa (إِنَّآ) yang menandakan keagungan Sang Rabb, Dzat Yang Maha Pemberi.
Karunia ini ini utuh dan berkesinambungan sebab kalimat pada ayat ini diawali dengan kata inna yang menunjukkan penegasan dan realisasi kandungan berita layaknya fungsi sumpah. Demikian juga, Allah menggunakan fi'il madhi (kata kerja lampau) dalam kalimat ini, yang bertujuan sebagai penekanan kejadian peristiwa. Sebab obyek yang sifatnya harapan yang berasal dari Dzat Yang Maha Mulia, terhitung sebagai perkara yang pasti terjadi.
Kata Al-Kautsar berbentuk wazan fau'al seperti kata naufal. Bangsa Arab menamakan segala sesuatu yang melimpah baik kuantitasnya, atau besar kedudukan dan urgensinya dengan nama kautsar.
Para ulama tafsir berselisih pendapat dalam menafsikan Al Kautsar yang diberikan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pendapat mereka terangkum dalam keterangan berikut ini :
Pertama, sungai di surga.
Kedua, telaga Nabi di Mahsyar.
Ketiga, kenabian dan kitab suci.
Keempat, Al Qur`an.
Kelima, Islam.
Keenam, kemudahan memahami Al Qur`an dan aturan syariat.
Ketujuh, banyaknya sahabat, ummat dan kelompok-kelompok pembela.
Kedelapan, pengutamaan Nabi diatas orang lain
Kesembilan, meninggikan sebutan Nabii
Kesepuluh, sebuah cahaya dihatimu mengantarkanmu kepada-Ku, dan menghalangimu dari selain-Ku
Kesebelas, syafaat.
Keduabelas, mukjizat-mukjizat Allah yang menjadi sebab orang-orang meraih hidayah melalui dakwahmu.
Ketigabelas, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah.
Keempatbelas, memahami agama.
Kelimabelas, shalat lima waktu.
Keenambelas, perkara yang agung.
Ketujuhbelas, kebaikan yang merata yang Allah berikan kepada Beliau.
Al Wahidi berkata,”Kebanyakan ahli tafsir berpendapat, bahwa Al Kautsar adalah sungai di surga.” [4]
Panutan para ulama tafsir, Ibnu Jarir At Thabari berkata: “Pendapat yang paling utama menurutku adalah pendapat orang yang mengatakan Al Kautsar adalah nama sungai di surga yang dianugerahkan Rasulullah di surga kelak. Allah menyebutkan ciri khasnya dengan sifat katsrah (melimpah ruah) sebagai pertanda ketinggian kedudukannya.
Kami mengatakan itu sebagai tafsiran yang paling utama lantaran banyaknya riwayat dari Rasulullah yang menjelaskannya" [5]
Al Qurtubi berkata , ”Penjelasan yang paling benar adalah perkataan yang pertama dan kedua, karena kedua perkataan tersebut ditetapkan oleh Nabi dalam sebuah nas tentang Al Kautsar.”[6]
Asy Syaukani mengatakan,”Tafsir ini dari Ibnu Abbas, pandangannya bertumpu pada maknanya secara bahasa. Akan tetapi Rasulullah telah menafsirkannya sebagai sungai di surga dalam haditsnya yang shahih".
Aku (Syaikh Salim) berkata: Keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh mayoritas ulama tafsir merupakan kebenaran yang nyata, karena beberapa perkara berikut ini:
Pertama : Telah diriwayatkan dari Rasulullah , bahwasanya Beliau menafsirkan Al Kautsar sebagai sungai di surga dalam beberapa hadits. Diantaranya.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ثُمَّ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ فَقُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ
Dari Anas, dia berkata: Pada suatu hari ketika Rasulullah berada di tengah kami, Beliau mengantuk sekejap. Kemudian Beliau mengangkat kepalanya dengan senyum. Maka kami bertanya: “Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Baru saja turun kepadaku sebuah surat,” maka Beliau membaca surat Al Kautsar. Kemudian Rasulullah bersabda,”Apakah kalian tahu apakah Al Kautsar itu?” Maka kami berkata,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda,”Al Kautsar adalah sungai yang dijanjikan Rabbku Azza wa Jalla untukku. Disana terdapat kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang akan didatangi umatku pada hari Kiamat. Jumlah bejananya sebanyak bintang-bintang...." [7]
Kedua. Keterangan-keterangan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas tidak bertentangan dengan nash hadits yang shahih.
عن أَبِي بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ فِي الْكَوْثَرِ هُوَ الْخَيْرُ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ قَالَ أَبُو بِشْرٍ قُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَإِنَّ النَّاسَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُ نَهَرٌ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ سَعِيدٌ النَّهَرُ الَّذِي فِي الْجَنَّةِ مِنْ الْخَيْرِ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ
Dari Abi Basyar dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, sesungguhnya dia berkata tentang Al Kautsar. Ia adalah limpahan kebaikan yang Allah berikan kepada Rasulullah. Abu Bisyr berkata kepada Said bin Jubair ‘Sesungguhnya orang-orang menyangkanya sungai di surga’. Maka Said berkata,”Sungai di surga merupakan bagian dari kebaikan yang Allah berikan kepada Rasulullah" [8].
Ibnu Athiyah menyatakan : "Alangkah indahnya pernyataan yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan alangkah baiknya penyempurnaan keterangan dari Ibnu Jubair. Masalah tentang sungai (di surga) telah ditetapkan dalam hadits Isra (mi'raj) dan hadits lainnya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawatNya kepada Muhammad dan semoga Allah memberikan manfaat kepada kita semua dengan hidayahNya.” [9]
Ibnu Katsir menjelaskan : “Penafsirannya bisa dengan sungai dan selainnya. Karena Al-Kautsar berasal dari kata Al Katsrah, yaitu kebaikan yang melimpah ruah. diantaranya adalah berbentuk sungai tersebut... Telah diriwayatkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya dia menafsirkannya dengan makna sungai juga.
Ibnu Jarir berkata : “Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami (ia berkata), Umar bin Ubaid telah menceritakan kepada kami dari Atha`dari Said bin Jubair dari Ibnu Abba, ia berkata:"Al-Kautsar adalah sungai di surga. Kedua tepi sungai tersebut adalah emas dan perak, mengalir di atas yaqut (sejenis batu mulia) dan mutiara, airnya putih berasal dari salju dan lebih manis daripada madu."[10]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Jadi, kutipan Said bin Jubair terhadap perkataan Ibnu Abbas yang berbunyai "(Al-Kautsar) itu adalah kebaikan yang melimpah ruah". tidak bertentangan dengan pernyataan lainnya yang menafsirinya sebagai sungai di surga. Karena sungai merupakan bagian dari kebaikan yang banyak. Mungkin saja Sa'id ingin menunjukkan bahwa tafsir Ibnu Abbas lebih utama karena bersifat umum. Akan tetapi telah ditetapkan pengkhususannya dengan sungai dari keteranan Nab, maka tidak ada pilihan untuk mengesampingkannya". [11]
Dengan itu menjadi jelas bahwa:
1). Tafsir Ibnu Abbas tidak berltabrakan dengan penjelasan Rasullullah bahwa Al-Kautsar adalah sungai di surga. Bahkan ini juga merupakan tafsiran Ibnu Abbas dalam riwayat yang bisa dipertanggungjawabkan, sebagai telah disebutkan oleh Ibnu Katsir.
2). Bahwa tafsir Ibnu Abbas masuk dalam kandungan ayat secara umum. Oleh karena itu, Syaikhul Islam berkata:"Kata Al-Kautsar yang sudah populer merupakan sungai di surga, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang jelas lagi shahih.
Ibnu Abbas berkata : Al-Kautsar sesungguhnya merupakan kebaikan yang banyak, yang Allah berikan kepada Rasulullah. Jika penduduk surga yang paling rendah (tingkatannya saja) dianugerahi dengan sepuluh kali lipat dunia seisinya. Maka bayangkan saja apa yang akan Allah sediakan bagi Rasulullah dalam surga kelak. Maka, Al-Kautsar menjadi sinyal dan indikator banyaknya nikmat yang Allah berikan kepada Nabi yang berbentuk kebaikan-kebaikan dan tambahan lainnya serta begitu tingginya kedudukannya (nikmat-nikmat itu). Sungai tersebut yaitu Al-Kautsar, merupakan sungai yang terbesar, paling bagus airnya, paling jernih, paling manis dan yang tertinggi.
Jadi, maksudnya adalah Al-Kautsar merupakan sungai di surga, menjadi bagian kebaikan yang banyak sekali yang Allah anugerahkan kepada rasulNya di dunia dan akhirat. [12]
Aku (Syaikh Salim) berkata: Perkataan yang memastikannya dengan sungai di surga adalah pendapat yang benar, karena adanya keterangan jelas dari Rasulullah. Meskipun tafsiran yang umum tidak berseberangan dengan tafsiran yang khusus, sebab itu termasuk menjadi bagiannya. Tapi ada unsur pemutarbaikan fakta. Alasannya, kebaikan yang melimpah yang diberikan Allah juga mencakup Al-Kautsar. Hal ini telah tercantum dalam hadits Anas yang telah lewat dalam Shahih Muslim : "Itu adalah sungai yang dijanjikan Rabbku. Di sana terdapat kebaikan yang melimpah". Ini masuk dalam kategori penyebutan obyek yang besar untuk memasukkan kenikenikmatan yang tingkatannya lebih rendah".
Ketiga : Keterangan yang dikemukakan oleh Al-Qurtubi, yaitu :
"Dan semua tafsiran yang dikemukakan dalam masalah ini (makna Al-Kautsar), telah diberikan kepada Rasulullah sebagai tambahan atas karunia telaga. Semoga Allah mencurahkan selawat dan keselamatan yang banyak kepada Beliau" [13]
Jadi, tidak ada yang pertentangan antara penafsiran Al-Kautsar dengan sungai atau telaga.
Al-Kautsar adalah sungai di surga dan airnya akan dialirkan keadalam telaga. Maka Al-Kautsar airnya berada dalam sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Dzar, ia berkata, "Wahai Rasulullah, apa bejananya al-ahaudh (telaga)?" Rasulullah menjawab: " Demi dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, sungguh bejananya lebih banyak dari jumlah bintang-bintang dan planet-planet yang ada di langit di malam malam gelap gulita tanpa awan. Bejana-bejana dari surga. Barangsiapa yang minum darinya, maka tidak akan merasa haus selamanya. Ada dua talang dari surga yan menjulur ke dalamnya. barangsiapa yang minum darinya, tidak akan merasa haus selamanya. Lebar sungai tersebut sama dengan panjangnya, kira-kira sejauh antara Amman dan Aila`. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu".[14]
WAJIBNYA BERIMAN KEDAPA TELAGA NABI
Al-Qurtubi berkata dalam Al-Mufhim [15]
"Di antara perkara-perkara yang diwajibkan atas setiap muslim mukallaf untuk mengetahuinya dan membenarkannya adalah:
Bahwasanya Allah telah menganugerahkan karunia buat NabiNya Muhammad secara khusus berupa Al-Kautsar, yaitu haudh (telaga) yang telah dijelaskan nama, sifat, minuman dan bejananya dalam banyak hadits yang shahih dan masyhur. Sehingga membekaskan pengetahuan yang pasti dan keyakinan yang bulat. Sebab, telah diriwayatkan dari Nabi melalui lebih dari tiga puluh sahabat-sahabat, riwayat dua puluh orang diantara mereka tercantum dalam Shahihain dan riwayat lain terdapay dalam selain dua kitab tersebut, dengan jalur periwayatan yang shahih dan riwayat yang masyhur"
Ulama salaf dan ulamah ahlus sunnah wal jama'ah dari kalangan kholaf telah sepakat untuk menetapkannya. Sedangkan aliran ahli bid'ah mengingkarinya. Merka menyimpangkannya dari makan tekstualnya, dan berlebih-lebihan dalam menafsirkannya tanpa dalil yang bisa diterima akan atau budaya. Padahal tidak ada kepentingan untuk menakwilkannya. Maka, muncullah orang-orang yang merobek kesepakatan ulama salaf dan meinggalkan madzhab imam generasi khalaf.
Qadli Iyadh berkata: "Hadits-hadits tentang telaga adalah shahih, beriman kepadanya merupakan suatu kewajiban, dan membenarkannya merupakan bagian dari iman. Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah maknanya adalah seperti makna zhahirnya, tidak perlu ditakwilkan atau diperdebatkan lagi.
Haditsnya bersifat mutawatir. Banyak sahabat yang meriwayatkannya. Imam Muslim menyebutkan hadits itu melalui riwayat Ibnu Amr bin 'Ash, Aisyah, Ummu Salamah, Uqbah bin Amir, Ibnu Mas`ud, Harits bin Wahab, Mustaurid, Abu Dzar, Tsauban, Anas dan Jabir bin Samurah.
Sedangkan selain Imam Muslim, meriwayatkannya melalui sahabat Abu Bakar As-Siddiq, Zaid bin Arqam, Abu Umamah, Abdullah bin Zaid, Abu Barzah, Suwaid bin Jabalah, Abdullah bin Ash Shanabahi, Al Barra` bin 'Azib, Asma` binti Abu Bakr, Khaulah binti Qais dan lain-lain.
An-Nawawi berkata: Bukhari dan Muslim meriwayatkan juga dari Abu Hurairah.
Selain Bukhari dan Muslim juga meriwayatkannya dari riwayat Umar bin Khatthab, 'A'idz bin Umar dan lainnya.
Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi telah mengumpulkan seluruhnya dalam bukunya Al Ba'tsu Wan Nusyur lengkap dengan sanad-sanadnya. Qhadi Iyadl berkata, "Dengan pnejelasan ini, hadits tersebut bisa masuk kategori mutawatir."[16]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, "Seluruh sahabat yang disebutkan Qadli Iyadh berjumlah dua puluh lima orang, An-Nawawi menambah tiga sahabat lagi dan aku telah menambah jumlah itu sebanyak yang mereka sebutkan, sehingga semuanya berjumlah lima puluh orang sahabat....
Telah sampai kepadaku kabar bahwa sebagian ulama mutaakhirin (ulama-ulama sekarang) mencatat jumlah sahabat (yang meriwayatkannya) lebih dari delapan puluh orang".
Jadi, ayat tersebut menunjukkan dengan jelas terhadap apa yang menjadi masyhur di kalangan mayoritas ulama tentang keistimewaan pemberian Al-Kautsar kepada Nabi kita. Beliaulah yang mempunyai maqam mahmud dan al-haudh (telaga).
Ya Allah! berikanlah kami minum dari telaga itu yang akan membuat kami tidak akan merasa haus setelah meminumnya untuk selama-lamanya. Sesungguhnya Engkau menjamin segala kebaikan dan Cukuplah Engkau bagi kami, sebaik-baik penolong dan hanya kepadaMu tujuan hidup kami.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Kandungan Surat Al-Kautsar
Ayat
pertama:
“Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar.”
Apa itu
Al-Kautsar? Ada 2 penafsiran di kalangan para ulama ahli tafsir tentang makna
Al-Kautsar:
Pertama, Al-Kautsar adalah sebuah sungai yang berada
di Al-Jannah (surga) yang Allahsubhaanahu wa ta’aalaa persiapkan untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan sebuah riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata, “Suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sempat terkantuk hingga tertidur.
Tiba-tiba Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepalanya sambil tersenyum,
kemudian para sahabat bertanya kepada beliau, ‘Kenapa engkau tersenyum wahai
Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya baru saja turun kepadaku sebuah
surat.” Kemudian beliau membaca, “Bismillahirrahmanirrahim
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
sampai akhir surat, kemudian beliau berkata, ”Tahukah
kalian apa itu Al-Kautsar?, para sahabat menjawab “Allah dan Rasul-Nya saja-lah
yang lebih tahu”. Maka Rasulullah menjawab, “Dia adalah sebuah sungai yang
berada di Al-Jannah (surga) yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa berikan kepadaku dan padanya terdapat
kebaikan yang banyak.” (HR. Al-Imam Ahmad 3/102).
Kedua: Al-Kautsar berarti kebaikan yang sangat banyak.
Sehingga Al-Kautsar tidak hanya sebatas sebuah sungai yang ada di Al-Jannah
(surga), karena kebaikan yang Allah subhaanahu wa ta’aalaaberikan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat banyak, sebagaimana disebutkan
dalam beberapa surat di Al-Qur`an. Di antaranya ialah dengan dipilihnya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang nabi dan rasul, bahkan
yang terbaik di antara para nabi dan rasul. Juga dengan diturunkannya Al-Qur`an
kepada beliau, satu-satunya dari kalangan nabi dan rasul yang diberi izin oleh
Allah subhaanahu
wa ta’aalaa untuk
memberikan syafaat ‘uzhma di
padang mahsyar, orang pertama yang Allah beri izin untuk
membuka pintu Al-Jannah (surga), diampuninya dosa beliau yang telah lalu dan
yang akan datang, dan masih banyak kebaikan yang lainnya yang tidak terhitung.
Sehingga itu semua yang dimaksud dengan Al-Kautsar.
Makna yang kedua ini diriwayatkan oleh al-Imam
al-Bukhari rahimahullah dari
sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa
beliau berkata tentang makna Al-Kautsar, “Dia (Al-Kautsar) adalah
kebaikan-kebaikan yang telah Allah subhaanahu wa ta’aalaa berikan kepada beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (Shahih al-Bukhari
no. 4966)
Pendapat yang kedua ini dikuatkan oleh al-Imam Ibnu
Katsir rahimahullah dan
beliau tegaskan dalam kitab tafsirnya, ”Tafsir ini (tafsir Ibnu Abbas tentang
Al-Kautsar) meliputi banyak hal bahkan termasuk sungai yang berada di Al-Jannah
(surga) dan yang lainnya, dikarenakan Al-Kautsar itu sebuah kata yang berasal
dari kata al-katsrah (sesuatu yang banyak kuantitasnya) sehingga makna
Al-Kautsar adalah kebaikan-kebaikan yang banyak. (Tafsir Ibnu Katsir) Wallahu a’lam.
Sifat
Sungai Al-Kautsar
Banyak hadits yang menjelaskan tentang sifat dan
ciri-ciri sungai Al-Kautsar. Salah satunya adalah hadits dari sahabat Anas bin
Malik radhiyallahu
‘anhu yang berisi
berita tentang Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa isra` dan mi’raj
bahwasanya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku berjalan-jalan
mengelilingi Al-Jannah (surga) ditampakkan kepadaku sebuah sungai yang kedua tepinya
terdapat bangunan-bangunan kubah yang terbuat dari intan berlian, kemudian
seorang malaikat yang bersama beliau mengatakan kepada beliau, “Tahukah engkau
(Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam)
apa yang sedang engkau saksikan ini? Inilah Al-Kautsar yang Allah
subhaanahu wa ta’aalaa telah persiapkan untukmu.” (Tafsir ath-Thabari 30/208)
Inilah sekilas sifat sungai Al-Kautsar yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa siapkan untuk Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam di Al-Jannah (surga). Setelah Allah subhaanahu wa ta’aalaamenyebutkan
nikmat tersebut kemudian Allah perintahkan Nabi-Nya untuk bersyukur dalam ayat
yang berikutnya.
Ayat Kedua:
“Maka
dirikanlah shalat karena Rabb-mu; dan berkurbanlah.”
Ada dua ibadah yang diperintahkan dalam ayat ke
2 ini, yaitu ibadah shalat dan kurban. Maka shalatlah untuk Rabb-mu
satu-satunya, ikhlaskan niat, bersungguh-sungguhlah dalam melaksanakannya dan
sembelihlah hewan kurbanmu, baik berupa onta, sapi ataupun kambing, semuanya
harus diserahkan dan dipersembahkan hanya untuk Allah subhaanahu wa ta’aalaasatu-satunya.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy rahimahullah berkata, “Disebutkan secara khusus dua
ibadah dalam ayat ini, dikarenakan keduanya (shalat dan kurban) merupakan
ibadah yang paling utama dan paling mulia untuk mendekatkan diri kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
Dalam shalat terkandung ketundukan hati dan perbuatan untuk Allah subhaanahu wa ta’aalaa,
dan dalam ibadah kurban merupakan bentuk mendekatkan diri kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa dengan sesuatu yang terbaik dari apa
yang dimiliki oleh seorang hamba berupa hewan kurban. (Tafsir as-Sa’diy hal.
936)
Hubungan
Ayat Kedua dengan Ayat Pertama
Hubungan ayat kedua ini dengan ayat pertama adalah
bimbingan untuk bersyukur bagi yang diberi nikmat yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada sang pemberi nikmat yaitu Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
Demikian pula pada dua ayat tersebut terdapat penjelasan bagaimana semestinya
mensyukuri nikmat, yaitu tidak hanya dengan ucapan saja, tetapi juga dengan
amalan ibadah yang terkait dengan anggota badan kita. Arti syukur adalah
nampaknya pengaruh nikmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa atas seorang hamba melalui lisannya
dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan cara meyakininya dan
cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan. (Lihat
Madarijus Salikin, 2/244)
Apabila
seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi
nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan
mencintai-Nya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya.
(Madarijus Salikin 2/247)
Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa,
ketahuilah bahwa ibadah-ibadah yang kita amalkan ataupun segala sesuatu yang
kita persembahkan untuk Allahsubhaanahu wa ta’aalaa tidaklah sebanding dengan apa yang
telah Allah subhaanahu wa ta’aalaaberikan kepada kita berupa
nikmat-nikmat yang begitu banyak. Sepanjang hari kita tenggelam dalam
kenikmatan yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa berikan. Setiap saat kita merasakan
berbagai nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Bahkan terkadang kita
tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan
banyak nikmat-nikmat tersebut hingga tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung
dengan alat secanggih apapun di masa kini. Semua ini tentunya menunjukkan
betapa besar karunia dan kasih sayang Allah subhaanahu wa ta’aalaa kepada hamba-hamba-Nya.
Faedah
Hukum yang Terkandung dalam Ayat Kedua
Dalam ayat
kedua ini terdapat dalil penting yang terkait dengan hukum dan tata cara dalam
ibadah kurban bahwa proses pelaksanaan ibadah kurban itu dilakukan setelah
shalat Idul Adha, bukan sebelum shalat. Kesimpulan ini dilihat dari ayat yang
kedua:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu; dan
berkurbanlah,” disebut shalat terlebih dahulu baru kemudian menyembelih
hewan kurban. Karena jika ibadah kurban itu dilakukan sebelum shalat maka
posisi dia bukan sebagai hewan kurban, dagingnya bukan daging kurban akan
tetapi terhitung sebagai daging sedekah biasa. Hal ini pernah terjadi di masa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat salah seorang sahabat yakni Abu
Burdah radhiyallahu ‘anhu menyembelih
hewan kurbannya sebelum shalat Idul Adha, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Kambingmu adalah kambing
untuk (diambil) dagingnya saja.” (HR. al-Bukhari no.5556 dari al-Bara` bin
‘Azib radhiyallahu
‘anhu). Dalam lafazh lain (no.5560) disebutkan, “Barangsiapa yang
menyembelih (sebelum shalat Idul Adha), maka itu hanyalah daging yang dia
persembahkan untuk keluarganya, bukan termasuk hewan qurban sedikit pun.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam khotbah Idul Adha,
“Barangsiapa mengerjakan shalat seperti shalat kami dan menyembelih hewan
kurban seperti kami, maka telah benar kurbannya. Dan barangsiapa
menyembelih sebelum shalat (Idul Adha) maka hendaklah dia menggantinya dengan
yang lain.” (HR. al-Bukhari no. 5563 dan Muslim no. 1553)
Ayat
Ketiga:
“Sesungguhnya
orang yang membencimu dialah orang yang terputus.”
Ada 2
penafsiran tentang makna dari
إِنَّ شَانِئَكَ
Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa makna dari ayat diatas adalah
1. “Sesungguhnya musuhmu.”
2. “Sesungguhnya orang yang membencimu. (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam )”
(Tafsir
ath-Thabari hal. 602)
Adapun
makna الْأَبْتَرُ ialah orang yang terputus tidak memiliki
keturunan/tidak memiliki generasi penerus atau bisa diartikan tidak adanya
kelanjutan dari sisi nasab.
Disebutkan oleh al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah bahwa salah seorang ahlul kitab yang
bernama Ka’ab bin al-Asyraf ketika datang ke kota Mekah dan bertemu dengan kaum
Quraisy, lalu mereka mengatakan kepada Ka’ab bin al-Asyraf, “Bagaimana
menurutmu wahai Ka’ab tentang orang yang tidak memiliki keturunan lagi, memutus
hubungan dengan kaumnya (yaitu Muhammad) dan menganggap dirinya lebih baik dari
kami, padahal kami adalah kaum yang senantiasa berhaji, berkhidmat menjaga
Ka’bah dan melayani serta memberi minum kepada jamaah haji? Kemudian Ka’ab bin
al-Asyraf menyatakan, “Kalian lebih mulia dibandingkan dia (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam).”
Setelah pernyataan tersebut turunlah ayat
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ
الْأَبْتَرُ
artinya,
“Sesungguhnya orang yang membencimu dia lah orang yang terputus.” (Lihat Tafsir
Ibnu Katsir 2/295)
Terputus dalam artian terputus dari setiap kebaikan,
amalan, sanjungan. Adapun Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi manusia yang paling sempurna
dan memiliki kedudukan di sisi seluruh makhluk, berupa tingginya pujian
kepadanya, banyaknya pembela dan pengikutnyashallallaahu ‘alaihi wa sallam.
(Tafsir as-Sa’di hal. 936)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar