DAFTAR PUSTAKA
Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada 1997
MAKALAH
ORGANISASI
MASYARAKAT BANJAR
DOSEN PEMBIMBING : MARIA
SYAMSIANOR M.Pd.I
MATA KULIAH : ISLAM
DAN KEBUDAYAAN BANJAR
DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD RAHMADANI
(2012121591)
NORLINA (2012121593)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang
telah memberikan taufik serta hidayahNya. Sehingga kami dapat menyusun makalah
ini dengan judul Organisasi Masyarakat Banjar dengan Mata Kuliah Islam dan
Kebudayaan Banjar
Shalawat dan salam semoga selalu senantiasa tercurah kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat dan pengikut
beliau hinggga akhir zaman. Yang telah membawa kita dari alam kebodohan menuju
alam terang benderang bercahayakan iman, islam, dan ihsan.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
Dosen Mata Kuliah Islam dan Kebudayaan Banjar
yang telah mendukung kami hingga terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan belum sempurna apa
yang kami sampaikan, sehingga apabila ada kekurangan dalam penulisan serta isi
atau materi, kami mohon saran dan kritiknya secara langsung maupun tidak
langsung, untuk kesempurnaan makalah ini.
Kandangan,
4 September 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR
ISI....................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB
II PEMBAHASAN................................................................................... 2
A. Pola Pemukiman dan Asal Usul Kampung.................................................... 2
B. Sistem Kekerabatan....................................................................................... 2
C. Perkawinan..................................................................................................... 3
D. Pembentukan Rumah Tangga dan Pecahnya
Perkawinan............................. 5
E. Pengelompokan Penduduk dan Tokoh-Tokoh
Kampung.............................. 6
BAB
III PENUTUP............................................................................................ 8
A. Kesimpulan.................................................................................................... 8
B. Saran.............................................................................................................. 8
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Makalah ini membicarakan tentang susunan masyarakat Banjar,
terutama horizontal seperti yang tergambar di kampong-kampung. Secara khusus
bab ini menguraikan pola pemukiman di kampong-kampung, dan perkiraan tentang
bagaimana terjadinya pola demikian dahulu. Juga diuraikan tentang sistem
kekerabatan, tentang perkawinan sebagai sarana masyarakat untuk meneruskan
generasinya, tentang berbagai perkumpulan, dan tentang tokoh-tokoh kampong.
Dalam makalah ini
juga dibicarakan tentang paham rumah tangga, dan dalam rangka paham rumah
tangga ini, dibicarakan juga tentang pembentukan harta perkawinan sebagai asas
ekonomi rumah tangga. Berkenaan dengan tokoh-tokoh kampung, akan dibicarakan
peranannya dan bentuk-bentuk penghormatan yang diberikan kepada mereka, dan
akan disinggung pula peranan kaum elit desa, khususnya dalam menangani sengketa
dalam masyarakat.[1]
BAB
II
PEMBAHASAN
ORGANISASI
MASYARAKAT BANJAR
A. Pola Pemukiman dan Asal Usul Kampung
Dalam zaman dahulu perkampungan penduduk, setidak-tidaknya di Hulu
Sungai[2],
terutama berwujud sebagai komplek pemukiman bubuhan, yang sebagian besar
terletak tidak jauh dari sungai, sebagai sarana perhubungan yang paling penting
pada saat itu, di samping tentu saja ada juga komplek pemukiman bubuhan yang
tersebar ditengah-tengah tanah pertanian mereka, namun biasanya tidak jauh dari
sumber air[3].
Di Banjarmasin terdapat pula rumah-rumah penduduk yang dibangun diatas rakit
dari batang kayu, disamping rumah-rumah penduduk yang dibangun di atas tanah
lumpur[4].
B. Sistem Kekerabatan
Pasal ini khususnya menguraikan istilah-istilah kekerabatan yang
dipergunakan dalam masyarakat Banjar. Erat berkaitan dengan hal itu ialah cara
orang Banjar memanggil seseorang yang belum bernama atau tidak diketaui
namanya. Juga dalam pasal ini akan disinggung tentang cara orang Banjar menarik
garis keturunannya dan suatu paham tentang kelompok kekerabatan yang dinamakan bubuhan.
1. Nama dan Panggilan Umum
Seorang bayi, yang baru lahir, memperoleh namanya, ketika ia
berumur sekitar 40 hari atau sebelumnya, dalam suatu upacara yang khusus
diadakan untuk keperluan tersebut, yaitu batasmiah (melakukan tasmiya,
masdar dari kata Arab samma, memberi nama). Sebelumnya, (di Martapura)
si bayi biasa dipanggil sebagai “nanang” atau “anang” jika laki-laki, dan
“galuh” atau “aluh” jika perempuan.
Sebutan nanang atau
anang dan aluh atau galuh dipakai pula sebagai panggilan
bagi anak-anak atau pemuda dan gadis, yang tidak atau belum dikenal namanya.
Kata ini juga digunakan sebagai panggilan bagi seorang pria atau wanita tua
yang tidak diketahui namanya dengan tambahan kata “su”, jadi su anang atau
su aluh.[5]
2. Istilah-Istilah
Kekerabatan
(a) Dangsanak ialah istilah untuk saudara-saudara ego,
khususnya saudara seibu dan sebapak, sapupu digunakan untuk menyebut
seorang kerabat, yang ayah atau ibunya bersaudara dengan ayah atau ibu ego. (b)
Mamarina adalah sebutan untuk saudara ayah atau ibu ego, anak saudara
kakek atau nenek ego, dan cucu atau datu ego. (c) Kamanakan adalah
sebutan untuk anak saudara ego, cucu saudara ayah/ibu ego, buyut saudara
kakek/nenek ego.
Untuk hubungan
kekerabatan yang timbul karena perkawinan (hubungan semenda), digunakan
istilah-istilah sebagai berikut:
(a) Minantu untuk isteri atau suami anak ego, dan cucu
minantu untuk isteri atau suami cucu ego, guna membedakan jenis kelaminnya,
dipakai tambahan kata lalakian atau bibinian, jadi mintuha
lalakian dan bibinia.
(b) Mintuha untuk orang tua suami atau isteri ego, dan untuk
membedakan jenis kelaminnya ditambah dengan kata lalakian atau bibinian,
jadi mintuha lalakian dan mintuha bibinian.
(c) Ipar untuk saudara-saudara isteri atau suami, tanpa
membedakan jenis kelamin.
(d) Maruai untuk suami atau isteri ipar ego.
(e) Warang atau pawarangan adalah sebutan untuk
mertua ana ego, tanpa membedakan jenis kelamin.[6]
C. Perkawinan
Perkawinan di kalangan orang Banjar hamper-hampir dianggap sebagai
perbuatan suci, yang harus dijalani oleh semua orang. Seorang gadis yang
sudah meningkat dewasa dan menurut ukuran desanya seharusnya sudah kawin dan
belum belum ada yang meminangnya diusahakan agar segera menemukan jodohnya.
Seorang pemuda yang telah dewasa dibujuk-bujuk agar segera kawin, dengan
mengatakan bahwa kawin itu adalah sunnah nabi dan agama seseorang belum
sempurna apabila ia belum kawin juga.[7]
1. Basasuluh
Arti kata suluh ialah obor
yang terbuat dari daun kelapa kering yang diikat menjadi satu dan digunakan
sebagai penerangan ketika bepergian malam hari. Basasuluh berarti
menyuluhi kian kemari di dalam gelap, seperti umpamanya ketika mencari benda
yang jatuh. Di dalam kegiatan mengawinkan, istilah ini sering diartikan sebagai
bertanya-tanya, dan meliputi kegiatan sejak timbulnya inisiatif untuk
mengadakan hubungan perkawinan sebelum resmi meminang.[8]
2.
Resmi melamar
Kegiatan kerabat atau utusan kerabat
si pemuda datang secara resmi menyatakan lamaran kepada pihak keluarga si gadis
di Martapura dinamakan badatang, dan masih ada beberapa langkah lagi
sebelum pernikahan ata pesta perkawinan dilangsungkan. Setelah pinangan
dinyatakan diterima secara resmi, pembicaraan beralih pada besarnya mas kawin,
yang harus diserahkan oleh pihak jejaka kepada pihak gadis (jujuran),
yang adakalanya terjadi tawar menawar, sehingga perundingan kadang-kadang harus
dilakukan berkali-kali.[9]
3. Berbagai kegiatan
sesudah lamaran
Jika telah ditemukan kata sepakat mengenai jujuran, maka
ditetapkan hari dan waktu untuk kegiatan berikutnya. Di Anduhum dan
kampung-kampung sekitarnya kegiatan yang dimaksud ialah bapaparan dan
atau parasmian dan di Martapura biasanya ialah menyerahkan patalian dan
atau jujuran[10].
4. Akad nikah
Waktu kapan dilakukan akad nikah tidaklah ada ketentuan yang
pasti lebih banyak tergantung pada kesepakatan antara pejabat yang mengawasi
upacara dan keluarga yang akan melakukannya.[11]
5. Acara pesta dan aruh
Dari keseluruhan proses, acara mengawinkan (bakakawinan) merupakan
kegiatan yang terpenting, kegiatan sebelumnya merupakan kegiatan yang
mendahului atau kegiatan persiapan bagi proses ini, termasuk juga acara akad
nikah.[12]
D. Pembentukan Rumah Tangga
dan Pecahnya Perkawinan
Pasal ini membicarakan tentang proses terbentuknya rumah tangga dan
harta perkawinan, serta pecahnya suatu rumah tangga beserta akibat-akibatnya.
Erat kaitannya dengan pembentukan rumah tangga ialah adat menetap sesudah
kawin, dan dalam rangka membicarakan pembentukan harta perkawinan dan istilah-istilah
yang digunakan, dibicarakan juga aspek ekonomi dari perkawinan
1. Adat menetap sesudah
kawin dan proses terbentuknya rumah tangga
Setelah rangkaian upacara dalam rangka mengawinkan selesai, kedua
pengantin baru seterusnya bertempat tinggal di rumah orang tua si isteri
setidak-tidaknya selama mereka belum mempunyai rumah sendiri. Ini adalah suatu
hal yang umum berlaku. Tetapi kemungkinan sebaliknya juga terjadi, yaitu
sesudah rangkaian upacara selesai, mereka tinggal menetap untuk sementara di rumah
orang tua suami meskipun yang terakhir ini dianggap sebagai penyimpangan atau
karena di kehendaki oleh keadaan.[13]
2. Masalah biaya
perkawinan dan pembentukan harta perkawinan
Aspek ekonomi dari perkawinan ialah semua beban ekonomi yang muncul
dalam melangsungkan perkawinan dan sesudah terjadinya perkawinan. Dengan
demikian pembicaraan ini berkenaan dengan jujuran, palangkahan, patalian
(pangiring), ongkos pesta, hadiah-hadiah dan pertukaran hadiah,
sumbangan-sumbangan unutk menyelenggarakan pesta, ongkos administrasi nikah,
dan dasar materiil bagi pasangan yang baru kawin.[14]
3. Pecahnya perkawinan
dan akibat-akibatnya
Tidak semua perkawinan berlangsung abadi, melainkan sebagian akan
berakhir dengan perceraian dan sebagian lagi akan berakhir dengan barambangan,
suatu keadaan belum cerai, tetapi sudah tidak berkumpul lagi sebagai
layaknya suami isteri, yang biasanya terjadi karena si suami meninggalkan
isterinya atau sebaliknya.[15]
E. Pengelompokan Penduduk
dan Tokoh-Tokoh Kampung
1. Pengelompokan penduduk
Jika kita memperhatikan dengan seksama hubungan-hubungan antar
penduduk di dalam sebuah kampung, terutama sebelum tahun 1977 (ketika banyak
kampung dipecah), terlihat adanya kelompok warga, baik yang hanya berwujud
kelompok (group) maupun yang berwujud perkumpulan (association)[16].
Kelompok-kelompok atau perkumpulan itu paling tidak dapat dibedakan atas tiga
hal: pertama, yang berdasarkan lingkungan daerah, kedua, yang berdasarkan
kepentingan yang sama-sama dirasakan, dan ketiga, yang berdasarkan pada adanya
kesamaan kegiatan.[17]
2. Tokoh-tokoh kampung
dan peranannya
Di dalam masyarakat Banjar penghargaan diberikan terhadap orang
yang lebih tua umurnya, orang yang karena kualitas pribadi tertentu dituakan
dalam masyarakat, orang-orang yang menduduki jabatan tertentu di dalam
masyarakat desanya, atau jabatan-jabatan lain di luar desanya, dan dihormati
karena menjabat sebagai guru, terutama guru agama, atau menjalankan fungsi
tertentu dalam masyarakat.[18]
3. Bentuk-bentuk
penghormatan dan peranan elit desa
Perbedaan antara tiga kelompok umur, anak-anak dan para pemuda yang
belum kawin, pria dewasa, dan pria yang sudah tua atau dituakan di kalangan
keluarga luas dan tetangga dekat, terlihat jelas apabila mereka menghadiri
selamatan dalam rangka perkawinan atau kematian.[19]
Seorang anak dan
seorang pemuda harus membungkukkan badannya apabila harus melewati orang-orang
yang lebih tua, tangan kirinya dilekatkan kebadannya dan tangan kanannya lurus
kebawah sejajar dengan kakinya dan mengucapkan kata-kata “umpat lalu” atau
“parmisi”.
Seorang ulama
terkemuka yang datang pada suatu selamatan akan segera didekati ulama-ulama
yang kurang terkemuka dan tamu-tamu lainnya guna disalami dan sebagian ada yang
berusaha mencium tangannya. Apabila berjumpa di jalan, seorang anak muda
diharapkan menegur sapa lebih dahulu terhadap kerabatnya yang lebih tua.[20]
Di kalangan
masyarakat Banjar, terutama yang masih kuat memegang adatnya, pergaulan
diharapkan hanya antara kelompok umur yang kurang lebih sebaya saja, mungkin
dimaksudkan agar tidak usah selalu melakukan formalitas penghormatan.
Seorang tokoh yang
disegani dalam suatu kampung atau dikalangan bubuhan tertentu tampak
menonjol apabila terjadi perselisihan di dalam masyarakat dan ada usaha-usaha
dari salah satu pihak untuk mengajak berdamai pihak lainnya. Suatu perselisihan
dalam masyarakat, lebih-lebih lagi jika telah terjadi pertumpahan darah,
meskipun sebenarnya hanya luka-luka kecil saja, biasanya selalu dianggap akan
berkelanjutan dan bila hal ini terjadi
kan membahayakan bagi ketentraman masyarakat[21].
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
B. SARAN
Pemakalah
menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kekurangan dan jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, pemakalah mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun kepada para pembanca guna menyempurnakan makalah ini. Atas
perhatiannya, pemakalah ucapkan terima kasih.
[1]
Alfani, Daud, Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada 1997, hlm. 62
[2] Yang
dimaksud Hulu Sungai ialah khususnya eks Afdeeling Hoeloe Soengei sebelum
perang, jadi meliputi paham tentang wilayah pahuluan dan batang banyu. Konsep
pahuluan mungkin pada mula-mulanya meliputi juga daerah lembah sungai Riam Kiwa
dan Riam Kanan, tetapi tampaknya sekarang tidak lagi.
[3]
Sisa-sisa pemukiman
yang terakhir ini masih dapat ditemui sampai kira-kira menjelang Perang Dunia
Kedua di sekitar kampong Labuhan dan, sekarang ini, di daerah berbukit-bukit
yang jarang penduduknya. Kelompok-kelompok pemukiman bubuhan di sekitar
Labuhan, yang relative terpencil ini, dipindahkan secara paksa pada masa
pendudukan Jepang, atau atau ditinggalkan karena gangguan keamanan pada zaman
sesudah perang kemerdekaan.
[4]
Lihat Beeckman (1718: 60-1). Sekarang ini rumah-rumah di atas rakit (lanting)
sudah berkurang, namun masih ada. Sebagai ganti batang kayu, sekarang
dipergunakan pula batang-batang bambu.
[5]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 67
[6]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 71
[7]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 73
[8]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 74
[9]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm, 75
[10] Patalian
tampaknya berfungsi untuk menegaskan hubungan pertunangan (balarangan)
kepada orang banyak, sedangkan jujuran selalu diserahkan sebelum acara
akad nikah.
[11]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 80
[12]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 81
[13]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 86
[14]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 89
[15]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 92
[17]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 94
[18]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 98
[19]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm 100
[20]
Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 101
[21]
Menurut Feuilletau de Bruyn (1933a: 288) peristiwa-peristiwa kejahatan (misdrijven)
dan pembunuhan (moord-en doodslagzaken) banyak sekali Hulu Sungai
dan seringkali didiamkan saja, sementara para korban atau kerabat dekatnya
berusaha menyelesaikan perkara itu dengan caranya sendiri. Tidak heran
umpamanya suatu pembunuhan akan diikuti oleh pembunuhan-pembunuhan berikutnya,
yang dilakukan oleh kerabat dekat si korban terhadap si pelaku dan kerabat
dekatnya. Kekhawatiran akan pembalasan dendam dari pihak si korban atau kerabat
dekatnya terhadap si pelaku atau kerabat dekatnya sampai saat ini masih ada,
khususnya berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang menimbulkan luka-luka atau
kematian bagi si korban, seperti penganiayaan dan kecelakaan lalu lintas. Untuk
menghindarkan adanya pembalasan dendam tersebut, maka selalulah diusahakan
adanya perdamaian (babaikan) secara adat, dengan perantaraan
tokoh-tokoh, baik kampung maupun keluarga luas yang berpengaruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar