Kamis, 11 September 2014

MAKALAH ISLAM DAN KEBUDAYAAN BANJAR

DAFTAR PUSTAKA

Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada 1997




MAKALAH
ORGANISASI MASYARAKAT BANJAR


DOSEN PEMBIMBING   : MARIA SYAMSIANOR M.Pd.I
MATA KULIAH              : ISLAM DAN KEBUDAYAAN BANJAR
  DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD RAHMADANI  (2012121591)
NORLINA  (2012121593)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN 2014



KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufik serta hidayahNya. Sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan judul Organisasi Masyarakat Banjar dengan Mata Kuliah Islam dan Kebudayaan Banjar
Shalawat dan salam semoga selalu senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hinggga akhir zaman. Yang telah membawa kita dari alam kebodohan menuju alam terang benderang bercahayakan iman, islam, dan ihsan.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Dosen Mata Kuliah Islam dan Kebudayaan Banjar  yang telah mendukung kami hingga terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan belum sempurna apa yang kami sampaikan, sehingga apabila ada kekurangan dalam penulisan serta isi atau materi, kami mohon saran dan kritiknya secara langsung maupun tidak langsung, untuk kesempurnaan makalah ini.



                                                                                                Kandangan, 4 September 2014

                                                                                                            Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ ii 
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii 
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 2
A.  Pola Pemukiman dan Asal Usul Kampung.................................................... 2
B.  Sistem Kekerabatan....................................................................................... 2
C.  Perkawinan..................................................................................................... 3
D.  Pembentukan Rumah Tangga dan Pecahnya Perkawinan............................. 5
E.  Pengelompokan Penduduk dan Tokoh-Tokoh Kampung.............................. 6
BAB III PENUTUP............................................................................................ 8
A.  Kesimpulan.................................................................................................... 8
B.  Saran.............................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Makalah ini membicarakan tentang susunan masyarakat Banjar, terutama horizontal seperti yang tergambar di kampong-kampung. Secara khusus bab ini menguraikan pola pemukiman di kampong-kampung, dan perkiraan tentang bagaimana terjadinya pola demikian dahulu. Juga diuraikan tentang sistem kekerabatan, tentang perkawinan sebagai sarana masyarakat untuk meneruskan generasinya, tentang berbagai perkumpulan, dan tentang tokoh-tokoh kampong.
            Dalam makalah ini juga dibicarakan tentang paham rumah tangga, dan dalam rangka paham rumah tangga ini, dibicarakan juga tentang pembentukan harta perkawinan sebagai asas ekonomi rumah tangga. Berkenaan dengan tokoh-tokoh kampung, akan dibicarakan peranannya dan bentuk-bentuk penghormatan yang diberikan kepada mereka, dan akan disinggung pula peranan kaum elit desa, khususnya dalam menangani sengketa dalam masyarakat.[1]










BAB II
PEMBAHASAN
ORGANISASI MASYARAKAT BANJAR

A.  Pola Pemukiman dan Asal Usul Kampung
Dalam zaman dahulu perkampungan penduduk, setidak-tidaknya di Hulu Sungai[2], terutama berwujud sebagai komplek pemukiman bubuhan, yang sebagian besar terletak tidak jauh dari sungai, sebagai sarana perhubungan yang paling penting pada saat itu, di samping tentu saja ada juga komplek pemukiman bubuhan yang tersebar ditengah-tengah tanah pertanian mereka, namun biasanya tidak jauh dari sumber air[3]. Di Banjarmasin terdapat pula rumah-rumah penduduk yang dibangun diatas rakit dari batang kayu, disamping rumah-rumah penduduk yang dibangun di atas tanah lumpur[4].
B.  Sistem Kekerabatan
Pasal ini khususnya menguraikan istilah-istilah kekerabatan yang dipergunakan dalam masyarakat Banjar. Erat berkaitan dengan hal itu ialah cara orang Banjar memanggil seseorang yang belum bernama atau tidak diketaui namanya. Juga dalam pasal ini akan disinggung tentang cara orang Banjar menarik garis keturunannya dan suatu paham tentang kelompok kekerabatan yang dinamakan bubuhan.
1.  Nama dan Panggilan Umum
Seorang bayi, yang baru lahir, memperoleh namanya, ketika ia berumur sekitar 40 hari atau sebelumnya, dalam suatu upacara yang khusus diadakan untuk keperluan tersebut, yaitu batasmiah (melakukan tasmiya, masdar dari kata Arab samma, memberi nama). Sebelumnya, (di Martapura) si bayi biasa dipanggil sebagai “nanang” atau “anang” jika laki-laki, dan “galuh” atau “aluh” jika perempuan.
            Sebutan nanang atau anang dan aluh atau galuh dipakai pula sebagai panggilan bagi anak-anak atau pemuda dan gadis, yang tidak atau belum dikenal namanya. Kata ini juga digunakan sebagai panggilan bagi seorang pria atau wanita tua yang tidak diketahui namanya dengan tambahan kata “su”, jadi su anang atau su aluh.[5]
2.  Istilah-Istilah Kekerabatan
(a) Dangsanak ialah istilah untuk saudara-saudara ego, khususnya saudara seibu dan sebapak, sapupu digunakan untuk menyebut seorang kerabat, yang ayah atau ibunya bersaudara dengan ayah atau ibu ego. (b) Mamarina adalah sebutan untuk saudara ayah atau ibu ego, anak saudara kakek atau nenek ego, dan cucu atau datu ego. (c) Kamanakan adalah sebutan untuk anak saudara ego, cucu saudara ayah/ibu ego, buyut saudara kakek/nenek ego.
            Untuk hubungan kekerabatan yang timbul karena perkawinan (hubungan semenda), digunakan istilah-istilah sebagai berikut:
(a) Minantu untuk isteri atau suami anak ego, dan cucu minantu untuk isteri atau suami cucu ego, guna membedakan jenis kelaminnya, dipakai tambahan kata lalakian atau bibinian, jadi mintuha lalakian dan bibinia.
(b) Mintuha untuk orang tua suami atau isteri ego, dan untuk membedakan jenis kelaminnya ditambah dengan kata lalakian atau bibinian, jadi mintuha lalakian dan mintuha bibinian.
(c) Ipar untuk saudara-saudara isteri atau suami, tanpa membedakan jenis kelamin.
(d) Maruai untuk suami atau isteri ipar ego.
(e) Warang atau pawarangan adalah sebutan untuk mertua ana ego, tanpa membedakan jenis kelamin.[6]
C.  Perkawinan
Perkawinan di kalangan orang Banjar hamper-hampir dianggap sebagai perbuatan suci, yang harus dijalani oleh semua orang. Seorang gadis yang sudah meningkat dewasa dan menurut ukuran desanya seharusnya sudah kawin dan belum belum ada yang meminangnya diusahakan agar segera menemukan jodohnya. Seorang pemuda yang telah dewasa dibujuk-bujuk agar segera kawin, dengan mengatakan bahwa kawin itu adalah sunnah nabi dan agama seseorang belum sempurna apabila ia belum kawin juga.[7]
1.  Basasuluh
Arti kata suluh ialah obor yang terbuat dari daun kelapa kering yang diikat menjadi satu dan digunakan sebagai penerangan ketika bepergian malam hari. Basasuluh berarti menyuluhi kian kemari di dalam gelap, seperti umpamanya ketika mencari benda yang jatuh. Di dalam kegiatan mengawinkan, istilah ini sering diartikan sebagai bertanya-tanya, dan meliputi kegiatan sejak timbulnya inisiatif untuk mengadakan hubungan perkawinan sebelum resmi meminang.[8]
2.  Resmi melamar
Kegiatan kerabat atau utusan kerabat si pemuda datang secara resmi menyatakan lamaran kepada pihak keluarga si gadis di Martapura dinamakan badatang, dan masih ada beberapa langkah lagi sebelum pernikahan ata pesta perkawinan dilangsungkan. Setelah pinangan dinyatakan diterima secara resmi, pembicaraan beralih pada besarnya mas kawin, yang harus diserahkan oleh pihak jejaka kepada pihak gadis (jujuran), yang adakalanya terjadi tawar menawar, sehingga perundingan kadang-kadang harus dilakukan berkali-kali.[9]
3.  Berbagai kegiatan sesudah lamaran
Jika telah ditemukan kata sepakat mengenai jujuran, maka ditetapkan hari dan waktu untuk kegiatan berikutnya. Di Anduhum dan kampung-kampung sekitarnya kegiatan yang dimaksud ialah bapaparan dan atau parasmian dan di Martapura biasanya ialah menyerahkan patalian dan atau jujuran[10].


4.  Akad nikah
Waktu kapan dilakukan akad nikah tidaklah ada ketentuan yang pasti lebih banyak tergantung pada kesepakatan antara pejabat yang mengawasi upacara dan keluarga yang akan melakukannya.[11]
5.  Acara pesta dan aruh
Dari keseluruhan proses, acara mengawinkan (bakakawinan) merupakan kegiatan yang terpenting, kegiatan sebelumnya merupakan kegiatan yang mendahului atau kegiatan persiapan bagi proses ini, termasuk juga acara akad nikah.[12]
D.  Pembentukan Rumah Tangga dan Pecahnya Perkawinan
Pasal ini membicarakan tentang proses terbentuknya rumah tangga dan harta perkawinan, serta pecahnya suatu rumah tangga beserta akibat-akibatnya. Erat kaitannya dengan pembentukan rumah tangga ialah adat menetap sesudah kawin, dan dalam rangka membicarakan pembentukan harta perkawinan dan istilah-istilah yang digunakan, dibicarakan juga aspek ekonomi dari perkawinan
1.  Adat menetap sesudah kawin dan proses terbentuknya rumah tangga
Setelah rangkaian upacara dalam rangka mengawinkan selesai, kedua pengantin baru seterusnya bertempat tinggal di rumah orang tua si isteri setidak-tidaknya selama mereka belum mempunyai rumah sendiri. Ini adalah suatu hal yang umum berlaku. Tetapi kemungkinan sebaliknya juga terjadi, yaitu sesudah rangkaian upacara selesai, mereka tinggal menetap untuk sementara di rumah orang tua suami meskipun yang terakhir ini dianggap sebagai penyimpangan atau karena di kehendaki oleh keadaan.[13]
2.  Masalah biaya perkawinan dan pembentukan harta perkawinan
Aspek ekonomi dari perkawinan ialah semua beban ekonomi yang muncul dalam melangsungkan perkawinan dan sesudah terjadinya perkawinan. Dengan demikian pembicaraan ini berkenaan dengan jujuran, palangkahan, patalian (pangiring), ongkos pesta, hadiah-hadiah dan pertukaran hadiah, sumbangan-sumbangan unutk menyelenggarakan pesta, ongkos administrasi nikah, dan dasar materiil bagi pasangan yang baru kawin.[14]
3.  Pecahnya perkawinan dan akibat-akibatnya
Tidak semua perkawinan berlangsung abadi, melainkan sebagian akan berakhir dengan perceraian dan sebagian lagi akan berakhir dengan barambangan, suatu keadaan belum cerai, tetapi sudah tidak berkumpul lagi sebagai layaknya suami isteri, yang biasanya terjadi karena si suami meninggalkan isterinya atau sebaliknya.[15]
E.  Pengelompokan Penduduk dan Tokoh-Tokoh Kampung
1.  Pengelompokan penduduk
Jika kita memperhatikan dengan seksama hubungan-hubungan antar penduduk di dalam sebuah kampung, terutama sebelum tahun 1977 (ketika banyak kampung dipecah), terlihat adanya kelompok warga, baik yang hanya berwujud kelompok (group) maupun yang berwujud perkumpulan (association)[16]. Kelompok-kelompok atau perkumpulan itu paling tidak dapat dibedakan atas tiga hal: pertama, yang berdasarkan lingkungan daerah, kedua, yang berdasarkan kepentingan yang sama-sama dirasakan, dan ketiga, yang berdasarkan pada adanya kesamaan kegiatan.[17]
2.  Tokoh-tokoh kampung dan peranannya
Di dalam masyarakat Banjar penghargaan diberikan terhadap orang yang lebih tua umurnya, orang yang karena kualitas pribadi tertentu dituakan dalam masyarakat, orang-orang yang menduduki jabatan tertentu di dalam masyarakat desanya, atau jabatan-jabatan lain di luar desanya, dan dihormati karena menjabat sebagai guru, terutama guru agama, atau menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat.[18]
3.  Bentuk-bentuk penghormatan dan peranan elit desa
Perbedaan antara tiga kelompok umur, anak-anak dan para pemuda yang belum kawin, pria dewasa, dan pria yang sudah tua atau dituakan di kalangan keluarga luas dan tetangga dekat, terlihat jelas apabila mereka menghadiri selamatan dalam rangka perkawinan atau kematian.[19]
            Seorang anak dan seorang pemuda harus membungkukkan badannya apabila harus melewati orang-orang yang lebih tua, tangan kirinya dilekatkan kebadannya dan tangan kanannya lurus kebawah sejajar dengan kakinya dan mengucapkan kata-kata “umpat lalu” atau “parmisi”.
            Seorang ulama terkemuka yang datang pada suatu selamatan akan segera didekati ulama-ulama yang kurang terkemuka dan tamu-tamu lainnya guna disalami dan sebagian ada yang berusaha mencium tangannya. Apabila berjumpa di jalan, seorang anak muda diharapkan menegur sapa lebih dahulu terhadap kerabatnya yang lebih tua.[20]
            Di kalangan masyarakat Banjar, terutama yang masih kuat memegang adatnya, pergaulan diharapkan hanya antara kelompok umur yang kurang lebih sebaya saja, mungkin dimaksudkan agar tidak usah selalu melakukan formalitas penghormatan.
            Seorang tokoh yang disegani dalam suatu kampung atau dikalangan bubuhan tertentu tampak menonjol apabila terjadi perselisihan di dalam masyarakat dan ada usaha-usaha dari salah satu pihak untuk mengajak berdamai pihak lainnya. Suatu perselisihan dalam masyarakat, lebih-lebih lagi jika telah terjadi pertumpahan darah, meskipun sebenarnya hanya luka-luka kecil saja, biasanya selalu dianggap akan berkelanjutan dan bila hal ini terjadi  kan membahayakan bagi ketentraman masyarakat[21].


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
           






B. SARAN
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, pemakalah mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun kepada para pembanca guna menyempurnakan makalah ini. Atas perhatiannya, pemakalah ucapkan terima kasih.




[1] Alfani, Daud, Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada 1997, hlm. 62
[2] Yang dimaksud Hulu Sungai ialah khususnya eks Afdeeling Hoeloe Soengei sebelum perang, jadi meliputi paham tentang wilayah pahuluan dan batang banyu. Konsep pahuluan mungkin pada mula-mulanya meliputi juga daerah lembah sungai Riam Kiwa dan Riam Kanan, tetapi tampaknya sekarang tidak lagi.
[3] Sisa-sisa pemukiman yang terakhir ini masih dapat ditemui sampai kira-kira menjelang Perang Dunia Kedua di sekitar kampong Labuhan dan, sekarang ini, di daerah berbukit-bukit yang jarang penduduknya. Kelompok-kelompok pemukiman bubuhan di sekitar Labuhan, yang relative terpencil ini, dipindahkan secara paksa pada masa pendudukan Jepang, atau atau ditinggalkan karena gangguan keamanan pada zaman sesudah perang kemerdekaan.
[4] Lihat Beeckman (1718: 60-1). Sekarang ini rumah-rumah di atas rakit (lanting) sudah berkurang, namun masih ada. Sebagai ganti batang kayu, sekarang dipergunakan pula batang-batang bambu.
[5] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 67
[6] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 71
[7] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 73
[8] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 74
[9] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm, 75
[10] Patalian tampaknya berfungsi untuk menegaskan hubungan pertunangan (balarangan) kepada orang banyak, sedangkan jujuran selalu diserahkan sebelum acara akad nikah.
[11] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 80
[12] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 81
[13] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 86
[14] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 89
[15] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 92
[16] Bandingkan dengan (social) group dan association dalam Hunter Whitten, eks., 1976.
[17] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 94
[18] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 98
[19] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm 100
[20] Alfani, Daud, Op.Cit, hlm. 101
[21] Menurut Feuilletau de Bruyn (1933a: 288) peristiwa-peristiwa kejahatan (misdrijven) dan pembunuhan (moord-en doodslagzaken) banyak sekali Hulu Sungai dan seringkali didiamkan saja, sementara para korban atau kerabat dekatnya berusaha menyelesaikan perkara itu dengan caranya sendiri. Tidak heran umpamanya suatu pembunuhan akan diikuti oleh pembunuhan-pembunuhan berikutnya, yang dilakukan oleh kerabat dekat si korban terhadap si pelaku dan kerabat dekatnya. Kekhawatiran akan pembalasan dendam dari pihak si korban atau kerabat dekatnya terhadap si pelaku atau kerabat dekatnya sampai saat ini masih ada, khususnya berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang menimbulkan luka-luka atau kematian bagi si korban, seperti penganiayaan dan kecelakaan lalu lintas. Untuk menghindarkan adanya pembalasan dendam tersebut, maka selalulah diusahakan adanya perdamaian (babaikan) secara adat, dengan perantaraan tokoh-tokoh, baik kampung maupun keluarga luas yang berpengaruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar